Pengikut

Senin, 04 Januari 2016

HAM Dalam islam

A.    PENGERTIAN HAK ASASI MANUSIA (HAM)
Menurut TeachingHuman Right yang, diterbitkan oleh PBB, hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai [1].
Menurut UU Nomer 39 tahun 1999. Yentang hak asasi manusia. Menurut uu ini, hask asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai Makhluk Tuhan yang Maha Esa  dan merupakan anugrah yang wajib di hormati, di junjung tinggi, dan di lindungi oleh negara, hukum, perintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.[2]

1.1  Jenis jenis HAM.
Pada siding umum PBB pada tanggal 16 Desember 1996. Universal declaration of
human rights.menyatakan, bahwa setiap orang mempunyai[3]:
1.      Hak untuk hidup
2.      Kemerdekaan dan keamanan badan
3.      Hak untuk di akui kepribadiaannya menurut hukum
4.      Hak untuk memperoleh perlakuan yang sama dengan orang lain menurut hukum.
5.      Hak untuk mendapat jaminan hukum dalam perkara pidana di muka umum, dianggap tidak bersalah kecuali ada bukti yang sah
6.      Hak untuk masuk dan keluar wilayah uatu negara
7.      Hak untuk bebas untuk mengutarakan pikiran dan perasaan.
8.      Hak untuk bebas memeluk agama serta mempunyai dan mengeluarkan pendapat.
9.      Hak  untuk berapat dan berkumpul.
10.  Hak untuk mendapat jaminan social.
11.  Hak untuk mendapat pekerjaan.
12.  Hak untuk berdagang.
13.  Hak untuk mendapat pendidikan.
1.2  Sejarah HAM
Secara garis besar pemikiran perkenbangan HAM di Indonesia di bagi kedalam dua
periode: sebelum kemerdekaan (
1908-1945) dan sesudah kemerdakaan (1945-sekarang)
1.      Periode Sebelum Kemerdekaan
 Boedi Oetomo, dalam konteks pemikiran HAM, pemimpin Boedi Oetomo telah memperlihatkan adanya kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi – petisi yang dilakukan kepada pemerintah kolonial maupun dalam tulisan yang dalam surat kabar goeroe desa. Bentuk pemikiran HAM Boedi Oetomo dalam bidang hak kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat.
• Perhimpunan Indonesia, lebih menitikberatkan pada hak untuk menentukan nasib sendiri.
• Sarekat Islam, menekankan pada usaha – usaha unutk memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan deskriminasi rasial.
• Partai Komunis Indonesia, sebagai partai yang berlandaskan paham Marxisme lebih condong pada hak – hak yang bersifat sosial dan menyentuh isu – isu yang berkenan dengan alat produksi.
• Indische Partij, pemikiran HAM yang paling menonjol adalah hak untuk mendapatkan kemerdekaan serta mendapatkan perlakuan yang sama dan hak kemerdekaan.
• Partai Nasional Indonesia, mengedepankan pada hak untuk memperoleh kemerdekaan.
• Organisasi Pendidikan Nasional Indonesia, menekankan pada hak politik yaitu hak untuk mengeluarkan pendapat, hak untuk menentukan nasib sendiri, hak berserikat dan berkumpul, hak persamaan di muka hukum serta hak untuk turut dalam penyelenggaraan Negara.
Pemikiran HAM sebelum kemerdekaan juga terjadi perdebatan dalam sidang BPUPKI antara Soekarno dan Soepomo di satu pihak dengan Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin pada pihak lain. Perdebatan pemikiran HAM yang terjadi dalam sidang BPUPKI berkaitan dengan masalah hak persamaan kedudukan di muka hukum, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak untuk memeluk agama dan kepercayaan, hak berserikat, hak untuk berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan tulisan dan lisan.
2. Periode Setelah Kemerdekaan ( 1945 – sekarang )
a) Periode 1945 – 1950
Pemikiran HAM pada periode awal kemerdekaan masih pada hak untuk merdeka, hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Pemikiran HAM telah mendapat legitimasi secara formal karena telah memperoleh pengaturan dan masuk kedalam hukum dasar Negara ( konstitusi ) yaitu, UUD 45. komitmen terhadap HAM pada periode awal sebagaimana ditunjukkan dalam Maklumat Pemerintah tanggal 1 November 1945.
Langkah selanjutnya memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk mendirikan partai politik. Sebagaimana tertera dalam Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945.
b) Periode 1950 – 1959
Periode 1950 – 1959 dalam perjalanan Negara Indonesia dikenal dengan sebutan periode Demokrasi Parlementer. Pemikiran HAM pada periode ini menapatkan momentum yang sangat membanggakan, karena suasana kebebasan yang menjadi semangat demokrasi liberal atau demokrasi parlementer mendapatkan tempat di kalangan elit politik. Seperti dikemukakan oleh Prof. Bagir Manan pemikiran dan aktualisasi HAM pada periode ini mengalami “ pasang” dan menikmati “ bulan madu “ kebebasan. Indikatornya menurut ahli hukum tata Negara ini ada lima aspek. Pertama, semakin banyak tumbuh partai – partai politik dengan beragam ideologinya masing – masing. Kedua, Kebebasan pers sebagai pilar demokrasi betul – betul menikmati kebebasannya. Ketiga, pemilihan umum sebagai pilar lain dari demokrasi berlangsung dalam suasana kebebasan, fair ( adil ) dan demokratis. Keempat, parlemen atau dewan perwakilan rakyat resprentasi dari kedaulatan rakyat menunjukkan kinerja dan kelasnya sebagai wakil rakyat dengan melakukan kontrol yang semakin efektif terhadap eksekutif. Kelima, wacana dan pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim yang kondusif sejalan dengan tumbuhnya kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan.
c) Periode 1959 – 1966
Pada periode ini sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem demokrasi terpimpin sebagai reaksi penolakan Soekarno terhaap sistem demokrasi Parlementer. Pada sistem ini ( demokrasi terpimpin ) kekuasan berpusat pada dan berada ditangan presiden. Akibat dari sistem demokrasi terpimpin Presiden melakukan tindakan inkonstitusional baik pada tataran supratruktur politik maupun dalam tataran infrastruktur poltik. Dalam kaitan dengan HAM, telah terjadi pemasungan hak asasi masyarakat yaitu hak sipil dan dan hak politik.

d) Periode 1966 – 1998
Setelah terjadi peralihan pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto, ada semangat untuk menegakkan HAM. Pada masa awal periode ini telah diadakan berbagai seminar tentang HAM. Salah satu seminar tentang HAM dilaksanakan pada tahun 1967 yang merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukan Pengadilan HAM, pembentukan Komisi dan Pengadilan HAM untuk wilayah Asia. Selanjutnya pada pada tahun 1968 diadakan seminar Nasional Hukum II yang merekomendasikan perlunya hak uji materil ( judical review ) untuk dilakukan guna melindungi HAM. Begitu pula dalam rangka pelaksanan TAP MPRS No. XIV/MPRS 1966 MPRS melalui Panitia Ad Hoc IV telah menyiapkan rumusan yang akan dituangkan dalam piagam tentang Hak – hak Asasi Manusia dan Hak – hak serta Kewajiban Warganegara.
Sementara itu, pada sekitar awal tahun 1970-an sampai periode akhir 1980-an persoalan HAM mengalami kemunduran, karena HAM tidak lagi dihormati, dilindungi dan ditegakkan. Pemerintah pada periode ini bersifat defensif dan represif yang dicerminkan dari produk hukum yang umumnya restriktif terhadap HAM. Sikap defensif pemerintah tercermin dalam ungkapan bahwa HAM adalah produk pemikiran barat yang tidak sesuai dengan nilai –nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila serta bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana tertuang dalam rumusan UUD 1945 yang terlebih dahulu dibandingkan dengan deklarasi Universal HAM. Selain itu sikap defensif pemerintah ini berdasarkan pada anggapan bahwa isu HAM seringkali digunakan oleh Negara – Negara Barat untuk memojokkan Negara yang sedang berkembang seperti Inonesia.
Meskipun dari pihak pemerintah mengalami kemandegan bahkan kemunduran, pemikiran HAM nampaknya terus ada pada periode ini terutama dikalangan masyarakat yang dimotori oleh LSM ( Lembaga Swadaya Masyarakat ) dan masyarakat akademisi yang concern terhaap penegakan HAM. Upaya yang dilakukan oleh masyarakat melalui pembentukan jaringan dan lobi internasional terkait dengan pelanggaran HAM yang terjadi seprti kasus Tanjung Priok, kasus Keung Ombo, kasus DOM di Aceh, kasus di Irian Jaya, dan sebagainya.
Upaya yang dilakukan oleh masyarakat menjelang periode 1990-an nampak memperoleh hasil yang menggembirakan karena terjadi pergeseran strategi pemerintah dari represif dan defensif menjadi ke strategi akomodatif terhadap tuntutan yang berkaitan dengan penegakan HAM. Salah satu sikap akomodatif pemerintah terhadap tuntutan penegakan HAM adalah dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM ) berdasarkan KEPRES No. 50 Tahun 1993 tertanggal 7 Juni 1993.
Lembaga ini bertugas untuk memantau dan menyeliiki pelaksanaan HAM, serta memberi pendapat, pertimbangan, dan saran kepada pemerintah perihal pelaksanaan HAM.
e) Periode 1998 – sekarang
Pergantian rezim pemerintahan pada tahan 1998 memberikan dampak yang sangat besar pada pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Pada saat ini mulai dilakukan pengkajian terhadap beberapa kebijakan pemerintah orde baru yang beralwanan dengan pemjuan dan perlindungan HAM. Selanjutnya dilakukan penyusunan peraturan perundang – undangan yang berkaitan dengan pemberlakuan HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan di Indonesia. Hasil dari pengkajian tersebut menunjukkan banyaknya norma dan ketentuan hukum nasional khususnya yang terkait dengan penegakan HAM diadopsi dari hukum dan instrumen Internasional dalam bidang HAM.
Strategi penegakan HAM pada periode ini dilakukan melalui dua tahap yaitu tahap status penentuan dan tahap penataan aturan secara konsisten. pada tahap penentuan telah ditetapkan beberapa penentuan perundang – undangan tentang HAM seperti amandemen konstitusi Negara ( Undang – undang Dasar 1945 ), ketetapan MPR ( TAP MPR ), Undang – undang (UU), peraturan pemerintah dan ketentuan perundang – undangam lainnya.

B. HAK ASASI MANUSIA DALAM PERSPEKTIF ISLAM

“Katakanlah, ‘ Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya, dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri kepada Allah”[4]

Agama Islam memerintahkan umat manusia untuk mengikuti bimbingan Yang Maha Kuasa selama hidupnya. Tujuan eksistensi manusia didunia menurut Islam adalah semata-mata untuk ibadah, menghambakan diri, serta patuh kepada Allah SWT.
Dari pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa manusia (dalam Islam) tidak memiliki hak-hak selain hanya kewajiban-kewajiban. Padahal ternyata kesimpulan ini sangat keliru. Dalam penelitiannya, A.K Brohi mengatakan, “Dalam totalitas Islam, kewajiban manusia pada Allah mencakup juga kewajibannya kepada setiap individu yang lain. Mereka secara paradoks hak-hak setiap idividu itu dilindungi oleh segala macam kewajiban dibawah hukum Ilahi.  Sebagaimana suatu negara secara bersama-sama dengan rakyat harus tunduk kepada hukum, yang berarti negara juga harus melindung hak-hak individual.[5]
Dalam bahasa Arab “hak” atau tuntutan disebut haqq (bentuk jamaknya huquuq), tetapi juga memiliki pengertian yang lebih luas. Akar kata haqq  itu dapat ditemukan dalam bahasa Hebrew yang berarti melukiskan dan menetapkan. Kata ini memiliki pengertian kewajiban kepada Tuhan dan manusia, yaitu huquuqullah dan huquuqul ‘ibad. Huquuqullah (hak-hak Allah) adalah kewajiban-kewajiban manusia terhadap Allah SWT yang diwujudkan dalam berbagai ritual ibadah, sedangkan huquuqul ‘ibad (hak-hak manusia) merupakan kewajiban-kewajiban manusia terhadap sesamanya dan terhadap makhluk-makhluk Allah lainnya.[6]
Ada dua macam HAM jika dilihat dari kategori huququl ‘ibad. Pertama, HAM yang keberadaannya dapat diselenggarakan oleh suatu negara (Islam), kedua adalah HAM yang keberadaannya tidak secara langsung dapat dilaksanakan oleh suatu negara. Hak-hak yang pertama dapat disebut sebagai hak-hak legal, sedangkan yang kedua dapat disebut sebagai hak-hak moral. Perbedaan antara keduanya hanyalah terletak pada masalah pertanggung jawaban didepan suatu negara Islam. Adapun dalam masalah sumber asal, sifat, dan pertanggung jawabannya dihadapan Allah SWT Yang Maha Kuasa itu sama.[7]
Hukum Islam memandang bahwa hak-hak keagamaan perseorangan yang khas tak dapat diganggu gugat dan ganjaran yang tidak dapat dihindari, khususnya ketika mereka memiliki hak atau menggugat orang lain. Hal yang krusial dalam skema HAM dalam Islam adalah bahwa Tuhanlah yang menetapkan hak-hak yang dimiliki seseorang dengan mewahyukannya kepada manusia.
Syari’ah adalah sumber hak dan kewajiban dalam Islam. Syari’ah juga menetapkan bagaimana hak itu dipraktekkan sebagaimana diatur didalam Al-Qur’an, hadits, kesepakatan ulama (ijma’), dan pemikiran rasional (qiyas). Hukum Islam memiliki fungsi ritual yang tidak dapat diabaikan dan bersamaan dengan itu ada juga kesadaran akan kebutuhan “keduniaan” dan sosial yang didasarkan pada ketentuan praktis.
Dalam rangka membangun wacana HAM yang dapat dipercaya didalam hukum Islam, perhatian yang lebih dekat harus diberikan pada isu-isu metodologis yang didasarkan pada toelogi hukum dan filsafat hukum Islam. Memang hal ini memudahkan penerapan cara yang tepat untuk mensahkan suatu pandangan tertentu, tetapi cara ini tidak menyediakan suatu acuan teoritis untuk keperluan perdebatan menyangkut HAM. Salah satu masalahnya adalah perdebatan HAM adalah suatu fakta bahwa sangat sulit untuk membicarakan hak-hak dalam islam dalam kategori monolitik dan seagama. Sebagai contoh, pada awal abad ke-8 interpretasi manusia yang dilakukan oleh kelompok teologis yang berpengaruh, yang dikenal sebagai kelompok Mu’tazilah, memberikan tempat yang istimewa terhadap akal dan kebebasan untuk menghasilkan wacana keagamaan universal. Berseberangan dengan Mu’tazilah ini ada kelompok tradisi teologi Asy’ariyah yang membatasi kebebasan manusia dan mempertahankan teosentrisme dan mengusung bahwa segala ketentuan Tuhan harus dijadikan dasar teologin dan hukum Islam.[8] Lebih ekstrim lagi dari kelompok Asy’ariyah adalah kelompok Hambali yang menyatakan bahwa makna literal dari Al-Qur’an dan hadits adalah diatas segala-galanya. Masing-masing dari ketiga kelompok ini menghasilkan asumsi yang berbeda tentang apa yang dikatakan “hak” dan bagaimana menerapkan hak tersebut dalam hukum, perbedaan ini terjadi karena masing-masing mereka memiliki landasan filosofis hukum yang berbeda.[9]

HAM yang dijamin oleh agama Islam bagi rakyat dapat diklasifikasikan kedalam dua kategori:
1.      HAM dasar yang telah diletakkan oleh Islam bagi seseorang sebagai manusia.
Contohnya: hak hidup, hak perlindungan kehormatan, hak keamanan dan kesucian kehidupan pribadi dll.
2.      HAM yang dianugerahkan oleh Islam bagi kelompok rakyat yang berbeda dalam situasi tertentu, status, posisi, dll.
Contoh: hak-hak khusus bagi nonmuslim, kaum wanita, anak-anak dll.[10]

C.    NORMA PERUNDANG-UNDANGAN HAM DAN PENEGAKANNYA DI INDONESIA
Dalam perundang-undangan RI paling tidak terdapat bentuk hukum tertulis yang memuat aturan tentang HAM. Pertama, dalam konstitusi (UUD Negara). Kedua, dalam ketetapan MPR (TAP MPR). Ketiga, dalam Undang-Undang. Keempat, dalam peraturan pelaksanaan perundang-undangan seperti peraturan pemerintah, keputusan presiden, dan peraturan pelaksanaan lainnya.
Kelebihan pengaturan HAM dalam konstitusi memberikan jaminan yang sangat kuat karena perubahan dan atau penghapusan satu pasal dalam konstitusi seperti dalam ketatanegaraan di Indonesia mengalami proses yang sangat berat dan panjang, antara lain melalui amandemen dan referendum, sedangkan kelemahannya karena yang diatur dalam konstitusi hanya memuat aturan yang masih global seperti ketentuan tentang HAM dalam konstitusi RI yang masih bersifat global. Sementara itu bila pengaturan HAM dalam bentuk Undang-Undang dan peraturan pelaksanaannya kelemahannya, pada kemungkinan seringnya mengalami perubahan.
         Perlindungan HAM harus didasarkan pada prinsip bahwa hak-hak sipil politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hak pembangunan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat di pisahkan baik dalam penerapan, pemantauan maupun dalam pelaksanaannya, sesuai dengan pasal 1 (3) pasal 55 dan 56 piagam PBB upaya pemajuan dan perlindungan HAM harus dilakukan melalui suatu konsep kerjasama internasiaonal yang berdasarkan pada prinsip saling menghormati, kesederajatan dan hubungan antar negara dan hukum internasional yang berlaku.
         HAM di Indonesia didasarkan pada pembukaan UUD 1945 (alinea 1), pancasila sila ke 4, batang tubuh UUD 1945  ( pasal 27, 29 dan 30 ), UU NO.39/ 1999 tentang HAM dan UU NO. 26/ 2000 tentang pengadilan HAM. HAM indonesia menjamin hak untuk hidup hak berkeuarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri , hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan hak turut serta dalam pemerintahan, hak wanita dan hak anak.[11] 
           Setiap orang dan setiap badan dalam masyarakat senantiasa menjunjung tinggi penghargaan tehadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan melalui tindakan progresif baik secara nasional maupun internasional. Namun manakala manusia telah memproklamasikan diri menjadi suatu kaum atau bangsa dalam suatu Negara, status manusia individual akan menjadi status warga Negara. Pemberian hak sebagai warga Negara diatur dalam mekanisme kenegaraan. Berikut ini langkah-langkah dalam upaya penegakan HAM di Indonesia adalah:
1.         Mengadakan langkah kongkret dan sistematik dalam pengaturan hukum positif
2.          Membuat peraturan perundang-undangan tetntang HAM
3.         Peningkatan penghayatan dan pembudayaan HAM pada segenap elemen masyarakat
4.         Mengatur mekanisme perlindungan HAM secara terpadu
5.         Memacu keberanian warga untuk melaporkan bila ada pelanggaran HAM
6.         Meningkatkan hubungan dengan lembaga yang menangani HAM
7.         Meningkatkan peran aktif media massa
Dalam penegakan HAM di Indonesia perangkat ideologi pancasila dan UUD 1945 harus dijadikan acuan pokok, karena secara terpadu nilai-nilai dasar yang ada di dalamnya merupakan The Indonesia Bill Of Human Right.
Ada sejumlah kemajuan positif yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam kerangka penegakan HAM. Namun pada saat masa orde baru janji palsu yang pemerintah lontarkan dalam pemberian harapan pada penegakan HAM hanyalah menorehkan tinta hitam pelanggaran  di indonesia.[12] Pada masa soeharto inilah yang di katakan bahwa pengabaiannya terhadap HAM di indonesia atas dasar sokongan Amerika.[13] Namun itu bisa diperbaiki pada masa era reformasi meski tidak begitu sempurna. khususnya terkait dengan upaya perbaikan pada kerangka hukum dan institusi untuk mempromosikan HAM. Telah nampak dalam kerangka hukum, pemerintah Indonesia telah melahirkan beberapa kebijakan menyangkut HAM yang cukup positif. Pembuatan Undang-Undang (UU) HAM serta UU Perlindungan Saksi Mata, adalah beberapa kebijakan yang dilihatnya dapat memberi sentimen positif pada persoalan perlindungan HAM di Indonesia. Dibentuknya beberapa institusi penegakan HAM di Indonesia, seperti pengadilan HAM, Komisi Nasional HAM, Komnas Perempuan serta sejumlah organisasi HAM lainnya, juga merupakan usaha yang telah dilakukan pemerintah dalam upaya penegakan HAM. [14]
         Adapun program penegakkan hukum dan HAM (PP No.7 tahun 2005) meliputi pemberantasan korupsi, antiterorisme, serta pembasmian penyalagunaan  narkotika dan obat berbahaya. Oleh sebab itu, penegakkan hukum dan HAM harus di lakukuan secara tegas, tidak diskriminatif dan konsisten.[15] 
        Dalam upaya penegakan penegakan hak asasi manusia di Indonesia, dibutuhkan sarana dan prasarana. Sarana dan prasarana penegakan HAM di Indonesia dapat dikategorikan menjadi dua bagian yaitu:
1.      Sarana yang terbentuk institusi atau kelembagaan seperti lembaga advokasi tentang HAM yang dibentuk oleh LSM, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), Komisi Nasional HAM Perempuan dan institusi lainnya.
2.      Sarana yang berbentuk peraturan atau Undang-Undang, seperti adanya beberapa pasal dalam konstitusi UUD 1945 yang memuat tentang HAM, UU RI No. 39 Tahun 1999, keputusan Presiden RI No. 50 Tahun 1993, Keputusan Presiden RI No. 129 Tahun 1998, Keputusan Presiden RI No. 181 tahun 1998 dan Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998. Kesemua prangkat hukum tersebut merupakan sarana pendukung perlindungan HAM di Indonesia. . [16]






[1] TIM ICCE UIN Jakarta, pendidikan kewargaan: Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan masyarakat madani  (Jakarta: prenada media,2005.)
[2] Undang undang dasar no 39 tahun 1999
[3] Menurut buku pendidikan pancasia (implementasi nilai nilai karakter bangsa) karya DR. H. Syahrial Syarbaini, M.A.
[4] Al-An’am: 162-163.
[5] Altaf Gauhar, The Challenge of Islam, hlm. 176.
[6] Encyclopedia of Islam, edisi kedua dikutip sebagaimana tertera dalam Encyclopedia of islam 2 hakk, (Leiden: Brill 1960).
[7] DR. Syekh Syaukat Hussain, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, hlm. 56.
[8] Lihat Abdul Azizi Said, Human rights in Islamic Perspective, dalam Human Right: Cultural and Ideological Perspective, hlm. 92 (Adamantia Pollis & Peter Schwab Eds., N.Y.: Preager 1980).
[9] Ebrahim Moosa, Islam Progesif, dalam Ajaran HAM Dalam Hukum Islam, hlm. 22.
[10] DR. Syekh Syaukat Hussain, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, hlm. 59.

[11] DR. H. Syahrial Syarbaini, M.A.pendidikan pancasia (implementasi nilai nilai karakter bangsa), ghalia inonesia:bogor
[12]  Civic Educatiaon (Pendidikan kewarganegaraan) hal. 165
[13]  Lihat Jejak langkah seorang pemimpin soeharto,karya Ilhamsyah yudistira hal.47
[14]  TIM ICCE UIN Jakarta pendidikan kewargaan: Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan masyarakat madani  (Jakarta: prenada media,2005.)
[15] DR. H. Syahrial Syarbaini, M.A.pendidikan pancasia (implementasi nilai nilai karakter bangsa), ghalia inonesia:bogor
[16]  TIM ICCE UIN Jakarta pendidikan kewargaan: Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan masyarakat madani  (Jakarta: prenada media,2005.)

Pendidikan Kewarganegaraan

Name  : VANYA IRONIES
NIM    : U20151034
Class   : 1st IAT

1.      Demokratisasi Masyarakat Indonesia Melalui Pemberdayaan Civil Society

Civil society adalah perkumpulan warga masyarakat dari suatu negara yang demokrasi yang dapat bebas aktif dalam segala hal selama hal-hal tersebut masih berkaitan dengan kepentingan-kepentingan kemasyaratan pada umumnya. Civil society di Eropa Timur didasari oleh penguatan yang dibawahi para ilmuwan-ilmuwan terkenal dan terkemuka seperti Jaek Kuron, Adam Michnik dan kawan-kawan. Mereka melakukan beberapa penemuan baru yang diterapkan  kemudian pada pembentukan bebrapa sistem seperti sistem politik, sistem ekonomi bagi bangsa demokratis baru seperti Indonesia.
            Demokratisasi di Indonesia sepertinya telah terpengaruhi oleh proyek Pencerahan (Enlightenment). Dalam bebrapa bentuk sistem, baik itu sistem politik ataupun sistem ekonomi. Wacan demokratisasi melalui penguatan atau pemberdayaan civil society ini dianggap memiliki kecocokan dan kesetaraan yang sangat tinggi dalam penggunaannya sebagai salah satu media di Indonesia, setidaknya dapat dimengerti dalam bentuk upaya dan penemuan pardigma wacana diatas. Sepeti negeri di Eropa Timur, Indonesia juga telah bertumbuh menjadi negara yang berkekuatan  yang tidak tertandingi dalam mengelola perekonomian, politik, dan sosial budaya selama tidak kurang dari dua puluh tahun. Keberhasilan suatu negara Orde Baru dalam memprovokasi proses penataan ulang sistem sosial, sistem ekonomi, dan sistem politik itu telah menjadikan negara tersebut sebagai kekuatan yang lebih condong seolah-olah tidak akan ada negara-negara lain yang bisa menandinginya. Karena penampilan sebuah negara Orde Baru itu dikategorikan dalam otoriter-birokratik oleh pakar politik, sebab negara Orde Baru itu telah berhasil berperan penting dalam proses mengalokasikan modal dengan munculnya militer.
            Strategi demokratisasi melalui civil society ini dilakukan dengan cara penyemaian dan pertumbuahn budaya civil yang terus berlanjut pada masyarakat melalui pendidikan dan sosialisasi, misal disekolah, kelompok, ataupun organisasi-organisasi demokratik yang mampu bernalar dan menggunakan rasionya untuk terlibat aktif dalam mengambil keputusan dalam bermasyarakat. Dan demokratisasi melalui civil society di Indonesia ini memiliki keterkaitan dan kesetaraan yang tinggi dalam jangka waktu yang cukup panjang, lagipula jika kita mengingat bahwa percepatan berubahnya sosial, politik, ekonomi, serta ideologi di negara kita berada pada skala global. Dan suatub pelajaran dari Eropa Timur bagi negara kita adalah sistem politik yang mengasingkan diri dari rakyat itu tidak akan abadi dan akan selalu mengalami kemerosotan dan kemunduran, baik itu dari dalam pemerintahan tersebut maupun dari luar.

2.      Relevansi Hukum Islam Dengan Universalisme HAM Internasional

Di indonesia, banayak kesulitan yang menghadang hak asasi manusia (HAM). HAM bagaikan tidak berarti, padahal HAM itu adalah hak yang harus dimiliki oleh setiap manusia dan harus dipenuhi oleh suatu negara atau pemerintah. Padahal dalam Pancasila telah disebutkan bahwa dalam sila ke-4 itu berbunyi yang intinya rakyat dalam suatu negara itu dipimpin oleh pemerintah yang bijaksana dan baik dalam memimpin serta memberikan hak warga negara sesuai hak mereka masing-masing. Namun HAM yang berlaku di negara kita Indonesia kini banyak terpengaruh dan lebih condong terhadap kelakuan orang-orang Barat atau kebarat-baratan walaupun HAM itu sendiri tercetus oleh orang Barat. Alih-alih jika mereka dikritik atas perilaku mereka contoh penampilan atau style, mereka akan menanggapibahwa itu adalah HAM, setiap orang orang berhak dan bebas demi kenikmatan diri mereka sendiri, baik itu  dari penampilan atau sikap kurang ajar mereka. Sehingga dalam kehidupan sehari-haripun sikap mereka semakin tak karuan. Karena mayoritas penduduk Indonesia banyak memeluk agama Islam, maka hukuman yang seharusnya pantas didapatkan bagi sipelanggar aturan yang tidak sesuai dengan UU yang berlaku, malah Islam dikatakan identik dengan kekerasan, banyak orang mengatakan bahwa Islam itu tidak menghargai HAM sama sekali, sampai-sampai ada yang mengatakan bahwa mereka “Islamfobia”. Padahal Islam itu sendiri ingin menyelaraskan antara agama dan HAM.
Dalam suatu perdebata, Islam menanggapi bahwa Islam itu beriringan dengan HAM. Dan HAM yang sejati itu hanya dapat terwujud dibawah hukum Islam. Islam beriringan dengan HAM yaitu bahwa dalam Al-Qur’an telah disebutkan bahwa keadilan dan perlindungan kehidupan serta martabat dan harga diri manusia itu merupakan sebagian dari Syari’at Islam.
Description: http://c00022506.cdn1.cloudfiles.rackspacecloud.com/16_90.png
 “Sungguh Allah memerintahkan agar berbuat adil dan berbuat baik terhadap sesama kerabat dan Ia juga melarang terhadap perbuatan keji dan dan munkar dan sesuatu yang dibenci. Karena itu Ia berbuat demikian agar kamu mengingat dan mengambil pelajaran”
Sebenarnya Islam tidak egois terhadap permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam kehidupan, malah Islam memberikan pendapat untuk saling bekerjasama dan tolong menolong (ta’awun) demi kebaikan manusia dalam bermasyarakat. Islam menyeru agar manusia itu itu berinteraksi dan saling bertukar pikiran. HAM internasional itu bertujuan kemanusiaan yang universal untuk melindungi setiap individu terhadap penyalahgunaan sistem negara demokrasi.
            Sudah menjadi perdebatan dahsyat tentang universalisme hukum HAM. Universalitas HAM itu bersifat menerima pemikiran yang terlalu umum dan mendunia terhadap ide dari HAM dan universalisme HAM itu masih memiliki keterkaitan dengan penafsiran serta diterapkannya ide HAM internasional. Sedangkan kecocokan dan keterkaitan hukum Islam dengan mendunianya hukum HAM internasional ingin memastikan terhadapperwujudan HAM internasional dalam dunia muslim secara keseluruhan. Banyak konsep dan nilai kemanusiaan yang harus diwujudkan demi menghidupkan HAM internasional seiring diterapkannya hukum ISLam dalam negara muslim.


3.      Fungsi Demokrasi
a.      Demokrasi Sebagai Sistem Hidup Dan Lifestyle

Dalam pelaksanaan demokrasi dalam suatu negara, perlu adanya sikap yang demokratis dalam diri penyelenggara negara tersebut ataupun warga negara itu sendiri. Demokrasi itu sendiri masih membutuhkan perangkat atau alat yang dapat mendukung sehingga demokrasi itu dapat berjalan dan terlaksana, sebagai contoh dari perangkat itu yaitu mind set sosial dari masyarakat negara tersebut bahwa demokrasi harus dijadikan sebagai sistem hidup dalam bermasyarakat.
Dari beberapa pendapat, demokrasi merupakan sebuah nilai yang patut dihayati dan harus dibudayakan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga demokrasi itu dapat dijadikan adab dan kesopanan dari nilai demokrasi dalam hidup yang demokratis dan perlu untuk dikembangkan. Misal, penyelesaian perselisihan secara damai dan musyawarah, memajukan pendidikan dengan menggratiskan biaya sekolah bagi rakyat kurang mampu, dan lain-lain.
Maka dalam pelaksanaan kehidupan yang demokratis, diperlukan sekali kepribadian-kepribadian yang diliputi beberapa hal. Misal toleransi, dengan bertoleransi maka tidak akan pernah ada perselisihan dan sikap saling mengejek satu sama lain. Sehingga mereka akan saling memahami dan saling mengerti juga tidak mengganggu aktivitas orang lain. Dengan begitu, nilai-nilai demokrasi akan tumbuh berkembang dan menjadi kokoh dikalangan masyarakat dalam suatu negara yang demokrasi.

b.      Demokrasi Sebagai Sistem Politik

Demokrasi dalam perkembangannya, selain terpahami menjadi bentuk pemerintahan, demokrasi juga berperan sebagai sistem politik dalam suatu negara. Sistem politik didunia ini dinyatakan ada dua, pertama sistem politik demokrasi, dan yang kedua sistem politik non-demokrasi atau tidak demokrasi. Maksud sistem politik yang demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang bebas dalam memberikan berpendapat dan kebebasan warga negara untuk memberikan suara dan keluh kesah mereka kepada pemimpin mereka.
Jadi warga dari suatu negara tersebut bebas tanpa larangan dalam memberikan suara untuk memilih pemimpin mereka. Pemimpinnya dipilih dari rakyat, rakyat bebas memilih dan ikut andil dalam pemilihin pemimpin mereka siapa yang akan memimpin mereka dalam negara tersebut. Lain halnya dengan sistem yang bersifat kerajaan, pemimpinnya adalah seorang raja, lalu pemimpin selanjutnya adalah anak raja, selanjutnya anak dari raja, hingga seterusnya. Ini merupakan sistem politik yang bukan bersifat demokrasi melainkan bersifat monarki dalam suatu pemerintahan. Jadi rakyat tidak bisa dan tidak bebas dalam menentukan pemimpin mereka, maka mau tidak mau rakyat  menerima walaupun rakyat tidak senang ataupun tidak setuju.
Dengan sistem pemerintahan yang demokratis, banyak memberikan keuntungan bagi suatu warga negara, karena warga negara banyak memiliki kebebasan untuk bergabung dan membentuk organisasi-organisasi politik untuk mempengaruhi peraturan pemerintah dan membuat kebijakan yang dapat menguntungkan diri mereka sendiri.