A. PENGERTIAN HAK ASASI MANUSIA (HAM)
Menurut
TeachingHuman Right yang, diterbitkan
oleh PBB, hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada setiap manusia, yang
tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai [1].
Menurut
UU Nomer 39 tahun 1999. Yentang hak asasi manusia. Menurut uu ini, hask asasi
manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia
sebagai Makhluk Tuhan yang Maha Esa dan
merupakan anugrah yang wajib di hormati, di junjung tinggi, dan di lindungi
oleh negara, hukum, perintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.[2]
1.1 Jenis jenis HAM.
Pada
siding umum PBB pada tanggal 16 Desember 1996. Universal declaration of
human rights.menyatakan,
bahwa setiap orang mempunyai[3]:
1. Hak
untuk hidup
2. Kemerdekaan
dan keamanan badan
3. Hak
untuk di akui kepribadiaannya menurut hukum
4. Hak
untuk memperoleh perlakuan yang sama dengan orang lain menurut hukum.
5. Hak
untuk mendapat jaminan hukum dalam perkara pidana di muka umum, dianggap tidak
bersalah kecuali ada bukti yang sah
6. Hak
untuk masuk dan keluar wilayah uatu negara
7. Hak
untuk bebas untuk mengutarakan pikiran dan perasaan.
8. Hak
untuk bebas memeluk agama serta mempunyai dan mengeluarkan pendapat.
9. Hak untuk berapat dan berkumpul.
10. Hak
untuk mendapat jaminan social.
11. Hak
untuk mendapat pekerjaan.
12. Hak
untuk berdagang.
13. Hak
untuk mendapat pendidikan.
1.2 Sejarah HAM
Secara
garis besar pemikiran perkenbangan HAM di Indonesia di bagi kedalam dua
periode:
sebelum kemerdekaan (
1908-1945)
dan sesudah kemerdakaan (1945-sekarang)
1. Periode Sebelum Kemerdekaan
Boedi
Oetomo, dalam konteks pemikiran HAM, pemimpin Boedi Oetomo telah memperlihatkan
adanya kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi – petisi
yang dilakukan kepada pemerintah kolonial maupun dalam tulisan yang dalam surat
kabar goeroe desa. Bentuk pemikiran HAM Boedi Oetomo dalam bidang hak kebebasan
berserikat dan mengeluarkan pendapat.
• Perhimpunan Indonesia, lebih menitikberatkan pada hak untuk menentukan nasib sendiri.
• Sarekat Islam, menekankan pada usaha – usaha unutk memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan deskriminasi rasial.
• Partai Komunis Indonesia, sebagai partai yang berlandaskan paham Marxisme lebih condong pada hak – hak yang bersifat sosial dan menyentuh isu – isu yang berkenan dengan alat produksi.
• Indische Partij, pemikiran HAM yang paling menonjol adalah hak untuk mendapatkan kemerdekaan serta mendapatkan perlakuan yang sama dan hak kemerdekaan.
• Partai Nasional Indonesia, mengedepankan pada hak untuk memperoleh kemerdekaan.
• Organisasi Pendidikan Nasional Indonesia, menekankan pada hak politik yaitu hak untuk mengeluarkan pendapat, hak untuk menentukan nasib sendiri, hak berserikat dan berkumpul, hak persamaan di muka hukum serta hak untuk turut dalam penyelenggaraan Negara.
Pemikiran HAM sebelum kemerdekaan juga terjadi perdebatan dalam sidang BPUPKI antara Soekarno dan Soepomo di satu pihak dengan Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin pada pihak lain. Perdebatan pemikiran HAM yang terjadi dalam sidang BPUPKI berkaitan dengan masalah hak persamaan kedudukan di muka hukum, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak untuk memeluk agama dan kepercayaan, hak berserikat, hak untuk berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan tulisan dan lisan.
• Perhimpunan Indonesia, lebih menitikberatkan pada hak untuk menentukan nasib sendiri.
• Sarekat Islam, menekankan pada usaha – usaha unutk memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan deskriminasi rasial.
• Partai Komunis Indonesia, sebagai partai yang berlandaskan paham Marxisme lebih condong pada hak – hak yang bersifat sosial dan menyentuh isu – isu yang berkenan dengan alat produksi.
• Indische Partij, pemikiran HAM yang paling menonjol adalah hak untuk mendapatkan kemerdekaan serta mendapatkan perlakuan yang sama dan hak kemerdekaan.
• Partai Nasional Indonesia, mengedepankan pada hak untuk memperoleh kemerdekaan.
• Organisasi Pendidikan Nasional Indonesia, menekankan pada hak politik yaitu hak untuk mengeluarkan pendapat, hak untuk menentukan nasib sendiri, hak berserikat dan berkumpul, hak persamaan di muka hukum serta hak untuk turut dalam penyelenggaraan Negara.
Pemikiran HAM sebelum kemerdekaan juga terjadi perdebatan dalam sidang BPUPKI antara Soekarno dan Soepomo di satu pihak dengan Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin pada pihak lain. Perdebatan pemikiran HAM yang terjadi dalam sidang BPUPKI berkaitan dengan masalah hak persamaan kedudukan di muka hukum, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak untuk memeluk agama dan kepercayaan, hak berserikat, hak untuk berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan tulisan dan lisan.
2.
Periode Setelah Kemerdekaan ( 1945 – sekarang )
a) Periode 1945 – 1950
Pemikiran HAM pada
periode awal kemerdekaan masih pada hak untuk merdeka, hak kebebasan untuk
berserikat melalui organisasi politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk
untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Pemikiran HAM telah mendapat
legitimasi secara formal karena telah memperoleh pengaturan dan masuk kedalam
hukum dasar Negara ( konstitusi ) yaitu, UUD 45. komitmen terhadap HAM pada
periode awal sebagaimana ditunjukkan dalam Maklumat Pemerintah tanggal 1
November 1945.
Langkah selanjutnya memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk mendirikan partai politik. Sebagaimana tertera dalam Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945.
Langkah selanjutnya memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk mendirikan partai politik. Sebagaimana tertera dalam Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945.
b) Periode 1950 – 1959
Periode 1950 – 1959 dalam perjalanan Negara Indonesia dikenal
dengan sebutan periode Demokrasi Parlementer. Pemikiran HAM pada periode ini
menapatkan momentum yang sangat membanggakan, karena suasana kebebasan yang
menjadi semangat demokrasi liberal atau demokrasi parlementer mendapatkan
tempat di kalangan elit politik. Seperti dikemukakan oleh Prof. Bagir Manan
pemikiran dan aktualisasi HAM pada periode ini mengalami “ pasang” dan
menikmati “ bulan madu “ kebebasan. Indikatornya menurut ahli hukum tata Negara
ini ada lima aspek. Pertama, semakin banyak tumbuh partai – partai politik
dengan beragam ideologinya masing – masing. Kedua, Kebebasan pers sebagai pilar
demokrasi betul – betul menikmati kebebasannya. Ketiga, pemilihan umum sebagai
pilar lain dari demokrasi berlangsung dalam suasana kebebasan, fair ( adil )
dan demokratis. Keempat, parlemen atau dewan perwakilan rakyat resprentasi dari
kedaulatan rakyat menunjukkan kinerja dan kelasnya sebagai wakil rakyat dengan
melakukan kontrol yang semakin efektif terhadap eksekutif. Kelima, wacana dan
pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim yang kondusif sejalan dengan tumbuhnya
kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan.
c) Periode 1959 – 1966
Pada periode ini
sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem demokrasi terpimpin sebagai
reaksi penolakan Soekarno terhaap sistem demokrasi Parlementer. Pada sistem ini
( demokrasi terpimpin ) kekuasan berpusat pada dan berada ditangan presiden.
Akibat dari sistem demokrasi terpimpin Presiden melakukan tindakan inkonstitusional
baik pada tataran supratruktur politik maupun dalam tataran infrastruktur
poltik. Dalam kaitan dengan HAM, telah terjadi pemasungan hak asasi masyarakat
yaitu hak sipil dan dan hak politik.
d)
Periode 1966 – 1998
Setelah terjadi peralihan pemerintahan dari Soekarno ke
Soeharto, ada semangat untuk menegakkan HAM. Pada masa awal periode ini telah
diadakan berbagai seminar tentang HAM. Salah satu seminar tentang HAM
dilaksanakan pada tahun 1967 yang merekomendasikan gagasan tentang perlunya
pembentukan Pengadilan HAM, pembentukan Komisi dan Pengadilan HAM untuk wilayah
Asia. Selanjutnya pada pada tahun 1968 diadakan seminar Nasional Hukum II yang
merekomendasikan perlunya hak uji materil ( judical review ) untuk dilakukan
guna melindungi HAM. Begitu pula dalam rangka pelaksanan TAP MPRS No. XIV/MPRS
1966 MPRS melalui Panitia Ad Hoc IV telah menyiapkan rumusan yang akan
dituangkan dalam piagam tentang Hak – hak Asasi Manusia dan Hak – hak serta
Kewajiban Warganegara.
Sementara itu, pada sekitar awal tahun 1970-an sampai periode akhir 1980-an persoalan HAM mengalami kemunduran, karena HAM tidak lagi dihormati, dilindungi dan ditegakkan. Pemerintah pada periode ini bersifat defensif dan represif yang dicerminkan dari produk hukum yang umumnya restriktif terhadap HAM. Sikap defensif pemerintah tercermin dalam ungkapan bahwa HAM adalah produk pemikiran barat yang tidak sesuai dengan nilai –nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila serta bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana tertuang dalam rumusan UUD 1945 yang terlebih dahulu dibandingkan dengan deklarasi Universal HAM. Selain itu sikap defensif pemerintah ini berdasarkan pada anggapan bahwa isu HAM seringkali digunakan oleh Negara – Negara Barat untuk memojokkan Negara yang sedang berkembang seperti Inonesia.
Meskipun dari pihak pemerintah mengalami kemandegan bahkan kemunduran, pemikiran HAM nampaknya terus ada pada periode ini terutama dikalangan masyarakat yang dimotori oleh LSM ( Lembaga Swadaya Masyarakat ) dan masyarakat akademisi yang concern terhaap penegakan HAM. Upaya yang dilakukan oleh masyarakat melalui pembentukan jaringan dan lobi internasional terkait dengan pelanggaran HAM yang terjadi seprti kasus Tanjung Priok, kasus Keung Ombo, kasus DOM di Aceh, kasus di Irian Jaya, dan sebagainya.
Upaya yang dilakukan oleh masyarakat menjelang periode 1990-an nampak memperoleh hasil yang menggembirakan karena terjadi pergeseran strategi pemerintah dari represif dan defensif menjadi ke strategi akomodatif terhadap tuntutan yang berkaitan dengan penegakan HAM. Salah satu sikap akomodatif pemerintah terhadap tuntutan penegakan HAM adalah dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM ) berdasarkan KEPRES No. 50 Tahun 1993 tertanggal 7 Juni 1993.
Lembaga ini bertugas untuk memantau dan menyeliiki pelaksanaan HAM, serta memberi pendapat, pertimbangan, dan saran kepada pemerintah perihal pelaksanaan HAM.
Sementara itu, pada sekitar awal tahun 1970-an sampai periode akhir 1980-an persoalan HAM mengalami kemunduran, karena HAM tidak lagi dihormati, dilindungi dan ditegakkan. Pemerintah pada periode ini bersifat defensif dan represif yang dicerminkan dari produk hukum yang umumnya restriktif terhadap HAM. Sikap defensif pemerintah tercermin dalam ungkapan bahwa HAM adalah produk pemikiran barat yang tidak sesuai dengan nilai –nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila serta bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana tertuang dalam rumusan UUD 1945 yang terlebih dahulu dibandingkan dengan deklarasi Universal HAM. Selain itu sikap defensif pemerintah ini berdasarkan pada anggapan bahwa isu HAM seringkali digunakan oleh Negara – Negara Barat untuk memojokkan Negara yang sedang berkembang seperti Inonesia.
Meskipun dari pihak pemerintah mengalami kemandegan bahkan kemunduran, pemikiran HAM nampaknya terus ada pada periode ini terutama dikalangan masyarakat yang dimotori oleh LSM ( Lembaga Swadaya Masyarakat ) dan masyarakat akademisi yang concern terhaap penegakan HAM. Upaya yang dilakukan oleh masyarakat melalui pembentukan jaringan dan lobi internasional terkait dengan pelanggaran HAM yang terjadi seprti kasus Tanjung Priok, kasus Keung Ombo, kasus DOM di Aceh, kasus di Irian Jaya, dan sebagainya.
Upaya yang dilakukan oleh masyarakat menjelang periode 1990-an nampak memperoleh hasil yang menggembirakan karena terjadi pergeseran strategi pemerintah dari represif dan defensif menjadi ke strategi akomodatif terhadap tuntutan yang berkaitan dengan penegakan HAM. Salah satu sikap akomodatif pemerintah terhadap tuntutan penegakan HAM adalah dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM ) berdasarkan KEPRES No. 50 Tahun 1993 tertanggal 7 Juni 1993.
Lembaga ini bertugas untuk memantau dan menyeliiki pelaksanaan HAM, serta memberi pendapat, pertimbangan, dan saran kepada pemerintah perihal pelaksanaan HAM.
e) Periode 1998 – sekarang
Pergantian rezim
pemerintahan pada tahan 1998 memberikan dampak yang sangat besar pada pemajuan
dan perlindungan HAM di Indonesia. Pada saat ini mulai dilakukan pengkajian
terhadap beberapa kebijakan pemerintah orde baru yang beralwanan dengan pemjuan
dan perlindungan HAM. Selanjutnya dilakukan penyusunan peraturan perundang –
undangan yang berkaitan dengan pemberlakuan HAM dalam kehidupan ketatanegaraan
dan kemasyarakatan di Indonesia. Hasil dari pengkajian tersebut menunjukkan
banyaknya norma dan ketentuan hukum nasional khususnya yang terkait dengan
penegakan HAM diadopsi dari hukum dan instrumen Internasional dalam bidang HAM.
Strategi penegakan HAM pada periode ini dilakukan melalui dua
tahap yaitu tahap status penentuan dan tahap penataan aturan secara konsisten.
pada tahap penentuan telah ditetapkan beberapa penentuan perundang – undangan
tentang HAM seperti amandemen konstitusi Negara ( Undang – undang Dasar 1945 ),
ketetapan MPR ( TAP MPR ), Undang – undang (UU), peraturan pemerintah dan
ketentuan perundang – undangam lainnya.
B. HAK ASASI
MANUSIA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
“Katakanlah, ‘ Sesungguhnya shalatku, ibadahku,
hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu
bagi-Nya, dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang
yang pertama-tama menyerahkan diri kepada Allah”[4]
Agama
Islam memerintahkan umat manusia untuk mengikuti bimbingan Yang Maha Kuasa
selama hidupnya. Tujuan eksistensi manusia didunia menurut Islam adalah
semata-mata untuk ibadah, menghambakan diri, serta patuh kepada Allah SWT.
Dari
pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa manusia (dalam Islam) tidak memiliki
hak-hak selain hanya kewajiban-kewajiban. Padahal ternyata kesimpulan ini
sangat keliru. Dalam penelitiannya, A.K Brohi mengatakan, “Dalam totalitas
Islam, kewajiban manusia pada Allah mencakup juga kewajibannya kepada setiap
individu yang lain. Mereka secara paradoks hak-hak setiap idividu itu
dilindungi oleh segala macam kewajiban dibawah hukum Ilahi. Sebagaimana suatu negara secara bersama-sama
dengan rakyat harus tunduk kepada hukum, yang berarti negara juga harus
melindung hak-hak individual.[5]
Dalam
bahasa Arab “hak” atau tuntutan disebut haqq (bentuk jamaknya huquuq),
tetapi juga memiliki pengertian yang lebih luas. Akar kata haqq itu dapat ditemukan dalam bahasa Hebrew yang
berarti melukiskan dan menetapkan. Kata ini memiliki pengertian kewajiban
kepada Tuhan dan manusia, yaitu huquuqullah dan
huquuqul ‘ibad. Huquuqullah (hak-hak Allah) adalah
kewajiban-kewajiban manusia terhadap Allah SWT yang diwujudkan dalam berbagai
ritual ibadah, sedangkan huquuqul ‘ibad (hak-hak manusia)
merupakan kewajiban-kewajiban manusia terhadap sesamanya dan terhadap
makhluk-makhluk Allah lainnya.[6]
Ada
dua macam HAM jika dilihat dari kategori huququl ‘ibad. Pertama,
HAM yang keberadaannya dapat diselenggarakan oleh suatu negara (Islam), kedua
adalah HAM yang keberadaannya tidak secara langsung dapat dilaksanakan oleh
suatu negara. Hak-hak yang pertama dapat disebut sebagai hak-hak legal,
sedangkan yang kedua dapat disebut sebagai hak-hak moral. Perbedaan antara
keduanya hanyalah terletak pada masalah pertanggung jawaban didepan suatu
negara Islam. Adapun dalam masalah sumber asal, sifat, dan pertanggung
jawabannya dihadapan Allah SWT Yang Maha Kuasa itu sama.[7]
Hukum
Islam memandang bahwa hak-hak keagamaan perseorangan yang khas tak dapat
diganggu gugat dan ganjaran yang tidak dapat dihindari, khususnya ketika mereka
memiliki hak atau menggugat orang lain. Hal yang krusial dalam skema HAM dalam
Islam adalah bahwa Tuhanlah yang menetapkan hak-hak yang dimiliki seseorang
dengan mewahyukannya kepada manusia.
Syari’ah
adalah sumber hak dan kewajiban dalam Islam. Syari’ah juga menetapkan bagaimana
hak itu dipraktekkan sebagaimana diatur didalam Al-Qur’an, hadits, kesepakatan
ulama (ijma’), dan pemikiran rasional (qiyas). Hukum Islam
memiliki fungsi ritual yang tidak dapat diabaikan dan bersamaan dengan itu ada
juga kesadaran akan kebutuhan “keduniaan” dan sosial yang didasarkan pada
ketentuan praktis.
Dalam
rangka membangun wacana HAM yang dapat dipercaya didalam hukum Islam, perhatian
yang lebih dekat harus diberikan pada isu-isu metodologis yang didasarkan pada
toelogi hukum dan filsafat hukum Islam. Memang hal ini memudahkan penerapan
cara yang tepat untuk mensahkan suatu pandangan tertentu, tetapi cara ini tidak
menyediakan suatu acuan teoritis untuk keperluan perdebatan menyangkut HAM.
Salah satu masalahnya adalah perdebatan HAM adalah suatu fakta bahwa sangat
sulit untuk membicarakan hak-hak dalam islam dalam kategori monolitik dan
seagama. Sebagai contoh, pada awal abad ke-8 interpretasi manusia yang
dilakukan oleh kelompok teologis yang berpengaruh, yang dikenal sebagai
kelompok Mu’tazilah, memberikan tempat yang istimewa terhadap akal dan
kebebasan untuk menghasilkan wacana keagamaan universal. Berseberangan dengan
Mu’tazilah ini ada kelompok tradisi teologi Asy’ariyah yang membatasi kebebasan
manusia dan mempertahankan teosentrisme dan mengusung bahwa segala ketentuan
Tuhan harus dijadikan dasar teologin dan hukum Islam.[8]
Lebih ekstrim lagi dari kelompok Asy’ariyah adalah kelompok Hambali yang
menyatakan bahwa makna literal dari Al-Qur’an dan hadits adalah diatas
segala-galanya. Masing-masing dari ketiga kelompok ini menghasilkan asumsi yang
berbeda tentang apa yang dikatakan “hak” dan bagaimana menerapkan hak tersebut
dalam hukum, perbedaan ini terjadi karena masing-masing mereka memiliki
landasan filosofis hukum yang berbeda.[9]
HAM
yang dijamin oleh agama Islam bagi rakyat dapat diklasifikasikan kedalam dua
kategori:
1.
HAM
dasar yang telah diletakkan oleh Islam bagi seseorang sebagai manusia.
Contohnya: hak hidup, hak perlindungan kehormatan, hak keamanan dan
kesucian kehidupan pribadi dll.
2.
HAM
yang dianugerahkan oleh Islam bagi kelompok rakyat yang berbeda dalam situasi
tertentu, status, posisi, dll.
Contoh:
hak-hak khusus bagi nonmuslim, kaum wanita, anak-anak dll.[10]
C. NORMA PERUNDANG-UNDANGAN HAM DAN PENEGAKANNYA DI INDONESIA
Dalam perundang-undangan RI paling
tidak terdapat bentuk hukum tertulis yang memuat
aturan tentang HAM. Pertama, dalam konstitusi (UUD Negara). Kedua, dalam
ketetapan MPR (TAP MPR). Ketiga, dalam Undang-Undang. Keempat, dalam peraturan
pelaksanaan perundang-undangan seperti peraturan pemerintah, keputusan
presiden, dan peraturan pelaksanaan lainnya.
Kelebihan pengaturan HAM dalam
konstitusi memberikan jaminan yang sangat kuat karena perubahan dan atau
penghapusan satu pasal dalam konstitusi seperti dalam ketatanegaraan di
Indonesia mengalami proses yang sangat berat dan panjang, antara lain melalui
amandemen dan referendum, sedangkan kelemahannya karena yang diatur dalam
konstitusi hanya memuat aturan yang masih global seperti ketentuan tentang HAM
dalam konstitusi RI yang masih bersifat global. Sementara itu bila pengaturan
HAM dalam bentuk Undang-Undang dan peraturan pelaksanaannya kelemahannya, pada
kemungkinan seringnya mengalami perubahan.
Perlindungan
HAM harus didasarkan pada prinsip bahwa hak-hak sipil politik, ekonomi, sosial,
budaya, dan hak pembangunan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat di
pisahkan baik dalam penerapan, pemantauan maupun dalam pelaksanaannya, sesuai
dengan pasal 1 (3) pasal 55 dan 56 piagam PBB upaya pemajuan dan perlindungan
HAM harus dilakukan melalui suatu konsep kerjasama internasiaonal yang
berdasarkan pada prinsip saling menghormati, kesederajatan dan hubungan antar
negara dan hukum internasional yang berlaku.
HAM di
Indonesia didasarkan pada pembukaan UUD 1945 (alinea 1), pancasila sila ke 4,
batang tubuh UUD 1945 ( pasal 27, 29 dan
30 ), UU NO.39/ 1999 tentang HAM dan UU NO. 26/ 2000 tentang pengadilan HAM.
HAM indonesia menjamin hak untuk hidup hak berkeuarga dan melanjutkan
keturunan, hak mengembangkan diri , hak memperoleh keadilan, hak atas
kebebasan, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan hak turut serta dalam
pemerintahan, hak wanita dan hak anak.[11]
Setiap orang
dan setiap badan dalam masyarakat senantiasa menjunjung tinggi penghargaan
tehadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan melalui tindakan progresif baik secara
nasional maupun internasional. Namun manakala manusia telah memproklamasikan
diri menjadi suatu kaum atau bangsa dalam suatu Negara, status manusia
individual akan menjadi status warga Negara. Pemberian hak sebagai warga
Negara diatur dalam mekanisme kenegaraan. Berikut ini langkah-langkah
dalam upaya penegakan HAM di Indonesia adalah:
1.
Mengadakan langkah kongkret dan sistematik dalam pengaturan hukum
positif
2.
Membuat peraturan perundang-undangan
tetntang HAM
3.
Peningkatan penghayatan dan pembudayaan HAM pada segenap elemen
masyarakat
4.
Mengatur mekanisme perlindungan HAM secara terpadu
5.
Memacu keberanian warga untuk melaporkan bila ada pelanggaran HAM
6.
Meningkatkan hubungan dengan lembaga yang menangani HAM
7.
Meningkatkan peran aktif media massa
Dalam penegakan HAM di Indonesia
perangkat ideologi pancasila dan UUD 1945 harus dijadikan acuan pokok, karena
secara terpadu nilai-nilai dasar yang ada di dalamnya merupakan The Indonesia
Bill Of Human Right.
Ada sejumlah kemajuan positif yang
telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam kerangka penegakan HAM. Namun pada saat masa orde baru
janji palsu yang pemerintah lontarkan dalam pemberian harapan pada penegakan
HAM hanyalah menorehkan tinta hitam pelanggaran
di indonesia.[12]
Pada masa soeharto inilah yang di katakan bahwa pengabaiannya terhadap HAM di
indonesia atas dasar sokongan Amerika.[13]
Namun itu bisa diperbaiki pada masa era reformasi meski tidak begitu sempurna. khususnya
terkait dengan upaya perbaikan pada kerangka hukum dan institusi untuk
mempromosikan HAM. Telah nampak dalam kerangka hukum, pemerintah
Indonesia telah melahirkan beberapa kebijakan menyangkut HAM yang cukup
positif. Pembuatan Undang-Undang (UU) HAM serta UU Perlindungan Saksi Mata,
adalah beberapa kebijakan yang dilihatnya dapat memberi sentimen positif pada
persoalan perlindungan HAM di Indonesia. Dibentuknya beberapa institusi
penegakan HAM di Indonesia, seperti pengadilan HAM, Komisi Nasional HAM, Komnas
Perempuan serta sejumlah organisasi HAM lainnya, juga merupakan usaha yang
telah dilakukan pemerintah dalam upaya penegakan HAM. [14]
Adapun
program penegakkan hukum dan HAM (PP No.7 tahun 2005) meliputi pemberantasan
korupsi, antiterorisme, serta pembasmian penyalagunaan narkotika dan obat
berbahaya. Oleh sebab itu, penegakkan hukum dan HAM harus di lakukuan secara
tegas, tidak diskriminatif dan konsisten.[15]
Dalam upaya
penegakan penegakan hak asasi manusia di Indonesia, dibutuhkan sarana dan
prasarana. Sarana dan prasarana penegakan HAM di Indonesia dapat dikategorikan
menjadi dua bagian yaitu:
1.
Sarana yang terbentuk institusi atau kelembagaan seperti lembaga
advokasi tentang HAM yang dibentuk oleh LSM, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(KOMNAS HAM), Komisi Nasional HAM Perempuan dan institusi lainnya.
2.
Sarana yang berbentuk peraturan atau Undang-Undang, seperti adanya
beberapa pasal dalam konstitusi UUD 1945 yang memuat tentang HAM, UU RI No. 39
Tahun 1999, keputusan Presiden RI No. 50 Tahun 1993, Keputusan Presiden RI No.
129 Tahun 1998, Keputusan Presiden RI No. 181 tahun 1998 dan Instruksi Presiden
No. 26 Tahun 1998. Kesemua prangkat hukum tersebut merupakan sarana pendukung
perlindungan HAM di Indonesia. .
[16]
[1] TIM ICCE
UIN Jakarta, pendidikan kewargaan: Demokrasi,
Hak Asasi Manusia dan masyarakat madani (Jakarta: prenada media,2005.)
[2] Undang
undang dasar no 39 tahun 1999
[3] Menurut
buku pendidikan pancasia (implementasi nilai nilai karakter bangsa) karya DR.
H. Syahrial Syarbaini, M.A.
[4]
Al-An’am: 162-163.
[5] Altaf
Gauhar, The Challenge of Islam, hlm. 176.
[6]
Encyclopedia of Islam, edisi kedua dikutip sebagaimana tertera dalam
Encyclopedia of islam 2 hakk, (Leiden: Brill 1960).
[7] DR.
Syekh Syaukat Hussain, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, hlm. 56.
[8] Lihat
Abdul Azizi Said, Human rights in Islamic Perspective, dalam Human
Right: Cultural and Ideological Perspective, hlm. 92 (Adamantia Pollis
& Peter Schwab Eds., N.Y.: Preager 1980).
[9] Ebrahim
Moosa, Islam Progesif, dalam Ajaran HAM Dalam Hukum Islam, hlm.
22.
[10] DR.
Syekh Syaukat Hussain, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, hlm. 59.
[11] DR. H.
Syahrial Syarbaini, M.A.pendidikan pancasia (implementasi nilai nilai karakter
bangsa), ghalia inonesia:bogor
[12] Civic Educatiaon (Pendidikan kewarganegaraan)
hal. 165
[13] Lihat Jejak langkah seorang pemimpin
soeharto,karya Ilhamsyah yudistira hal.47
[14] TIM ICCE UIN Jakarta pendidikan kewargaan: Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan masyarakat
madani (Jakarta: prenada
media,2005.)
[15] DR. H.
Syahrial Syarbaini, M.A.pendidikan pancasia (implementasi nilai nilai karakter
bangsa), ghalia inonesia:bogor
[16] TIM ICCE UIN Jakarta pendidikan kewargaan: Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan masyarakat
madani (Jakarta: prenada
media,2005.)