Pengikut

Minggu, 17 April 2016

AN-NIAH FIL WUDHU
MAKALAH
Untuk Memenuhi Tugas
Fiqih Perbandingan Madzhab
Dosen Pengampu :
Bpk. Ahmad Fajar Shodiq Lc.










Anggota :
Vanya Ironies : U20151034              
                                    Hasbela Ardini           : U20151041
Husniatin                    : U20151042

Ilmu Al-Quran dan Tafsir
Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora
IAIN JEMBER
Tahun 2016


Alhamdulillah, syukur kehadirat Allah SWT Rabb semesta alam,  yang telah melimpahkan rahmat-Nya pada kita semua. Sholawat dan salam selalu kepada kekasih Allah, Rasulullah SAW juga para sahabat serta para pengikut yang mengikuti sunnah-sunnahnya.
Makalah dengan judul “ An-Niah fil wudlu ” merupakan salah satu tugas terstruktur perbandingan madzhab bagi mahasiswa semester dua Ilmu Al-Quran dan Tafsir IAIN Jember.
Tak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penulisan makalah ini, terutama kepada :
1.      Allah SWT karena dengan kehendak-Nya telah mengijinkan kami menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik.
  1. Bapak Ahmad Fajar Shodiq Lc. selaku Dosen mata kuliah Fiqh Perbandingan Madzhab di Institut Agama Islam Negeri Jember yang telah membimbing dalam penulisan makalah ini.
  2. Pihak-pihak lain yang tidak penulis sebutkan satu persatu yang turut membantu sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangan dan kesalahan didalamnya, oleh karena itu segala kritik dan saran sangat penulis harapkan demi perbaikan di kemudian hari. Akhir kata, penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.



      Jember, 14 April 2016
Penulis


KATA PENGANTAR                                                                                     i
DAFTAR ISI                                                                                                               ii
BAB I                                                                                                                          3
PENDAHULUAN                                                                                                       3
A.     Latar Belakang                                                                                     3
B.     Rumusan Masalah                                                                                             3
C.     Tujuan                                                                                                              4
BAB II                                                                                                                         1
PEMBAHASAN                                                                                                         1
A.     PENGERTIAN NIAT                                                                                      1
B.   PANDANGAN PARA ULAMA................................................................... 2
C.   KRITIK TERHADAP PENDAPAT PARA ULAMA.................................... 6
BAB III..................................................................................................................... 9
PENUTUP                                                                                                                   9
KESIMPULAN                                                                                                           9
DAFTAR PUSTAKA                                                                                                  10

Dalam kehidupan sehari – hari ketika kita melakukan perintah beribadah kepada Allah SWT yang tertera dalam kitab Al – Qur’an dan sunnah. Tidaklah kita bisa pungkiri jika dalam pelaksanaan tersebut terdapat perbedaan pandang dari berbagai ulama seperti imam Syafi’i, Maliki, hambali, hanafi, dll.
Mengetahui suatu hal hukum yang disepakati (ijma) dan perbedaan pendapatnya merupakan perkara yang penting untuk kita perhatikan. Pendapatnya dijadikan rujukan, tetapi bukan berarti adanya perbedaan  pendapat itu membenarkan pendapatnya dan menyalahkan pendapat yang lain, karena dari perbedaan pendapat tersebut terdapat dalil yang sama – sama menguatkan adanya.
Seperti halnya niat. Niat itu tempatnya di hati, dalam hal ini niat terdapat dua maksud yaitu niat dimaksudkan melakukan sesuatu dengan tujuan untuk mengerjakannya yang kedua bermaksud untuk mendekatkan diri dan menggugurkan perintah.
Para ulama berbeda pendapat tentang niat. Maka memukakan pendapatnya tentang niat dan fardhunya niat. Selain itu Malikiyah, Hambali, dan Imamiyah dengan wajibnya yang tertib, dan ulama Syafi’I
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian niat?
2.      Bagaimana niat dalam wudhu menurut pandangan para ulama ?
3.      Bagaimana kritik terhadap  pendapat dan dalil kehujjahan para ulama tentang an-niyah fil wudhu, dan pendapat mana yang paling rojih?
C.     Tujuan
1.      Agar pembaca mengetahui apa maksud dari niat.
2.      Agar pembaca mengerti pendapat para ulama baik jumhur atau Hanafiyyah serta dalil kehujjahan mereka tentang niat dalam wudhu.
3.      Agar pembaca mengerti bahwa pendapat jumhur dan Hanafiyyah bisa dikritisi serta dapat mentarjih pendapat yang paling kuat.
 BAB II
PEMBAHASAN
A.            PENGERTIAN NIAT
Niat sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Al-Fiqh Al-Islami wa adillatuh memiliki arti secara bahasa yaitu bermaksud dari dalam hati. Sedangkan secara syar’an yang berarti seseorang jika ingin bertharah hendaknya ia berniat untuk melaksanakan fardlu, atau berniat untuk menghilangkan hadats agar diperbolehkan untuk mengerjakan amalan yang diwajibkan dengan thaharah. Ada penjelasan lain, niat itu memiliki dua arti:
1.      Bermaksud untuk melakukan sesuatu dengan tujuan untuk mengerjakannya.
2.      Bermaksud untuk mendekatkan diri serta mematuhi perintah.[1]
Dalam kitab hadist karangan An - Nawawi menunjukkan bahwa niat merupakan barometer untuk meluruskan amal perbuatan. Apabila niat baik, amalan menjadi baik. Sebaliknya, bila niat rusak, amalan juga akan rusak.
Amalan yang dilaksanakan disertai dengan niat, keadaannya diklasifikasi sebagai berikut :
1.    Seseorang melaksanakan amalan karena takut pada Allah SWT, maka ini merupakan ibadah para budak.
2.    Seseorang melaksanakannya untuk mencari surga dan pahala, maka ini merupakan ibadahnya para pedagang.
3.    Seseorang melaksanakannya karena malu kepada Allah SWT dalam rangka menunaikan kewajiban beribadah dan bersyukur, seraya tetap memandang bahwa dirinya belum menunaikannya secara penuh, hatinya juga merasa takut karena tidak tahu apakah amalannya diterima atau tidak. Inilah merupakan ibadah orang – orang yang merdeka.[2]
Sedangkan niat menurut dalam fikih sunnah, yaitu keinginan yang tertuju kepada suatu amalan yang mengharapkan ridho Allah SWT dan menjalankan perintah Nya. Niat itu merupakan amalan hati yang murni dan melafalkannya tidak disyariatkan.[3]
Menurut ijma’ niat adalah wajib dalam thaharah, seperti dalam mandi wajib, wudhu dan tayamum. Oleh karena itu, thaharah harus dengan niat. Berbeda dengan hanafi mandi wajib dan wudhu tidak perlu dengan niat. Namun tayamum harus dengan niat.[4]
Niat adanya didalam hati. Agar lebih sempurna niatnya dibarengi dengan pelafalan dalam lisan. Akan tetapi, imam Maliki berpendapat bahwa melafalkan niat itu makruh.
Para ulama’ berpendapat bahwa niat didalam hati saja sudah cukup, tetapi apabila hanya melafalkannya saja tidak cukup. Sedang tiga imam madzhab berpendapat membaca basmalah ketika wudhu adalah sunnah, bukan wajib. Hambali dengan riwayat yang paling shahih adalah membaca basmalah ketika berwudlu adalah wajib.
Daud berpendapat jika wudhu dilakukan tanpa membaca basmalah maka wudlhunya itu tidaklah sempurna baik meninggalkannya maupun sengaja ataupun lupa berbeda pandangan dengan Ishaq bin Rahawih. Beliau berpendapat jika berwudhu tanpa membaca basmalah kerena lupa maka wudhunya sah, tetapi jika sengaja maka wudhunya tidak sah.[5]
B.            NIAT DALAM WUDHU MENURUT PANDANGAN PARA ULAMA’ DAN DALIL KEHUJAHANNYA
Para ulama berbeda pendapat apakah niat ini termasuk syarat sahnya wudhu atau bukan:
a.              Ulama jumhur berpendapat bahwa niat adalah fardu dan syarat sahnya wudhu, niat ini untuk menguatkan ibadah dan bermaksud mendekatkan diri kepada Allah. Sehingga, tanpa berwudhu sholat tidak akan sah. Jumhur disini mencakup ulama Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanafiyyah, Ahmad, Abu Tsauri, dan Daud.[6]
Dalil yang dijadikan hujjah mereka:
1)   Dalam sabda Rasul:
إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى             
Segala amal itu bergantung pada niatnya dan bagi tiap-tiap orang mendapat apa yang diniatkannya.
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menjelaskan bahwa amalan tidak ada nilai menurut pandangan syara’, melainkan dengan  niat.
2)  Dalam firman Allah:
وما أمروا إلا ليعبد الله مخلصين له الدين                

Padahal mereka tidak diperintah kecuali supaya menyembah Allah dengan ikhlas kepada-Nya dalam agama.
 (Al-Bayyinah: 5)
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah telah menafikan suatu perintah, kecuali dengan beribadah kepada-Nya dengan ikhlas. Hal itu mencakup semua yang telah diperintahkan kepada kita. Salah satu hal yang diperintahkan kepada kita adalah wudhu, wudhu tidak akan benar kecuali dengan niat ikhlas karena Allah, karena ikhlas merupakan amalan hati yaitu niat itu sendiri.[7]
3)   Qiyas: niat disyaratkan dalam wudhu sebagaimana disyaratkannya niat dalam sholat, begitu pula disyaratkan niat dalam tayammum agar seseorang diperbolehkan sholat.
4)   Wudhu merupakan sarana untuk sholat, maka tuntutan sholat ini memiliki syarat, salah satunya adalah niat. Seperti firman Allah:
إذا قمتم إلى الصلاة فاغسلوا وجوهكم ( الما ئدة: 6)
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah memerintahkan kita untuk berwudhu apabila hendak mengerjakan sholat. Karena wudhu adalah ibadah, maka yang diminta adalah membasuh anggota wudhu untuk mendirikan sholat, inilah ma’na niat yang sebenarnya.
b.             Adapun ulama yang lain berpendapat bahwa niat itu disunnahkan bagi seseorang yang berwudhu hanya diawal wudhunya untuk mendapat pahala, niat ini untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mematuhi perintah-Nya, pendapat ini menurut ulama Hanafiyyah dan Ats-Tsauri. Jadi ulama Hanafiyyah ini tidak mewajibkan niat dalam berwudhu, tetapi menafikannya sehingga hukum niat disini adalah Sunnah. Menurut mereka, orang yang didorong kemudian jatuh kedalam air atau orang yang ingin mendinginkan anggota wudhu, maka itu telah dianggap berwudhu.[8]
Dalil yang dijadikan hujjah mereka:
1)            Tidak adanya nash dalam Al-Qur’an, sesungguhnya ayat wudhu tadi tidak memerintahkan untuk berniat, kecuali membasuh tiga anggota wudhu dan mengusap kepala. Dari perintah tersebut, kita cukup mengerjakan apa yang diperintahkan saja tanpa harus harus bergantung pada sesuatu yang lain. Adapun menetapkan wajib niat dalam wudhu dengan menggunakan hadits ahad berarti menambahkan nash Al-Qur’an. Tambahan nash pada Al-Qur’an ini berarti menasakh Al-Qur’an, sedangkan nasakh menggunakan hadits ahad dianggap tidak sah.
2)            Tidak adanya nash dalam Sunnah, Rasulullah belum pernah mengajarkan tentang niat dalam wudhu kepada orang-orang Arab. Tetapi niat ini diwajibkan pada seseorang bertayammum karena sarana tayammum menggunakan debu, dan tayammum itu bukan amalan yang dapat menghilangkan hadats dengan cara meratakan debu. Melainkan tayammum itu sebagai pengganti air.
3)            Qiyas terhadap segala macam-macam thaharah dan lainnya, makna wudhu ialah bersuci menggunakan air, maka tidak disyaratkan adanya niat sebagaimana menghilangkan najis. Wudhu pun adalah syarat untuk sholat bukan untuk  menggantinya, maka tidak diwajibkan niat sebagaimana menutup aurat. Begitu juga tidak diwajibkan adanya niat untuk mandi wanita kafir dzimmi ketika telah terputus dari haidnya. Bolehkan suaminya suaminya yang muslim mencampurinya bila ia sudah mandi? Apabila hukum niat itu fardu, tentu suaminya tidak boleh mencampurinya. Disamping itu, tidak ada seorangpun yang membedakan antara mandi dan wudu.
4)            Wudhu adalah sarana untuk sholat, tapi bukan berarti wudhu termasuk dari sholat tersebut. Sedangkan niat merupakan syarat yang diwajibkan dalam sholat, bukan disyaratkan dalam wudhu.
Dibawah ini merupakan bagan untuk memudahkan pembaca tentang pendapat niat fil wudlu menurut para ulama :
No
Madzhab
Hukum Niat
Dalil
1
Madzhab Jumhur ( Syafi’I, Maliki, Hanbali, Abu Tsaur, Daud )
Wajib
1.    Hadist Rasul tentang  niat
2.    Ikhlas dalam menyembah Allah
3.    Qiyas
4.    Firman Allah ( syarat mendirikan sholat )
2
 Madzhab Hanafi dan Ats – Tauri
Mustahab atau sunnah
1.    Tidak ada nash dalam Al – Qur’an
2.    Tidak ada nash dalam Sunnah
3.    Qiyas terhadap segala macam – macam thaharah
4.    Niat merupakan syarat untuk sholat, bukan syarat untuk wudlu


C.            KRITIK TERHADAP PENDAPAT – PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG NIAT DALAM WUDHU
Pendapat kami mengenai kehujahan niat yang dikemukakan oleh jumhur ulama bahwasannya hadist tersebut menerangkan diterima tidaknya suatu amal dan tidak ada hubungannya dengan sah atau tidaknya amalan tersebut. Dikemukakan oleh jumhur ulama sebagai berikut :
فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله
“Maka barang siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya.”

Dikatakan sahnya suatu amal tidak harus bergantung pada niat. Ada banyak amal yang sah menurut syara’ tetapi tidak diterima. Jelaslah bahwa wudhu menjadi syarat untuk sahnya shalat, tetapi bukan berarti sholat tersebut diterima, maka dari itu wudhu dianggap sah menurut syara’.
Adapun mengenai ayat :
وما أمروا إلا ليعبد الله مخلصين له الدين                

Padahal mereka tidak diperintah kecuali supaya menyembah Allah dengan ikhlas kepada-Nya dalam agama.
 (Al-Bayyinah: 5)
Tetapi wudhu yang merupakan sahnya shalat, tidaklah mesti menjadi ibadah. Ketahuiah, tidaklah semua yang diperintahkan itu merupakan ibadah. Dan perbuatan yang diperintahkan itu ada dua macam :
1.      Diperintahkan karena dzatnya sebagaiman shalat, wudhu merupakan ibadah dan untuk sahnya harus ada niat
2.      Diperintahkan karena hal lain. Dalam hal ini yang dituju adalah hasilnya hasilnya bukan yang mengasilkannya.
Disini wudhu tergolong pada pengertian kedua, bukan yang pertama. Dan ikhlas yang tercantum dalam ayat adalah ikhlas yang menentukan diterima tidaknya perbuatan disisi Allah SWT, bukan niat yang diperhitungkan sebagai syarat sahnya amal. Niat itu ada tanpa ikhlas, seperti wudhu dan shalat orang yang sengaja memperlihatkan pada orang lain.
Kemudian mengenai wudhu, jelas menerangkan wajibnya wudhu bila memenuhi persyaratannya. Adapun berwudhu ketika mandi harus berniat untuk shalat adalah untuk mematuhi suatu perintah. Hal ini tidak ditunjukkan dalam ayat itu.
Selanjutnya kritik kami tentang kehujahan yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyah adalah mengenai ayat wudhu kami menyetujui bahwa ayat tersebut tidak memerintahkan selain apa yang dikemukakan didalamnya. Akan tetapi kami menolak endapat mereka bahwa perinta itu hanya ditujukan untuk bagian – bagian ( anggota wudhu ) saja.akan tetapi, sebagaimana telah diakui oleh semua golongan bahwa wajibnya perkara yang diperintahkan tidak menutup pintu syari’untuk mengsyaratkan hal lainnya yang terambil dalil itu ataupun dari dalil lain. Apakah mereka tidak melihat bahwa tayamum itu diperinahkan dan tayamum ini tidaklah mencukupi tanpa niat atau menghilangkan hadast.
Kami juga tidak dapat menerima kewajiban niat itu tsabit dengan hadist ahad, melainkan tsabit dengan keumuman agama, yaitu menghendaki keikhlasan dalam ibadah. Oleh sebab itu, ia tidak merupakan suatu tambahan diatas Al – Qur’an dengan hadist ahad sebagaimana pendapat mereka.
Apabila kami menerima bahwa itu berdasarkan hadist ahad, sesungguhnya banyak sekali hadist ahad yang menetapkan perkara – perkara yang tidak terdapat dalam Al – Qur’an.
Adapun tentang pendapat Hanafiyah bahwa air iu telah dijadikan dalam keadaan bersih sehingga dalam membersihkan anggota tidaklah diperlukan niat lagi, inipun tidak dapat diterima. Hal ini karena kebersihan ( kesucian ) nya air yang disebutkan dalam firman Allah SWT :
وأنزلنا من السماء مآء طهورا. لنحيي به بلدة ميتا و نسقيه مما خلقنا أنعاما وأنا سي كثيرا
Dan Kami turunkan dari langit air yang bersih. Agar Kami menghidupkan dengan air negeri (tanah) yang mati, dan agar Kami memberi minum dengan air itu sebagian besar dari makhluk Kami, binatang-binatang ternak dan manusia yang banyak.
(QS. Al-Furqon: 25)
Suci dan bersih lahiriah, yaitu bersih dari benda-benda yang dapat mengurangi keistimewaannya. Dengan demikian jelaslah bahwa ayat ini todak membicarakan suci menurut syara’ yang sedang kita bahas.  Ada pula ayat lain yang menerangkan bahwa tanah juga suci, yaitu:
ليطهركم            
Untuk membersihkan kamu
(QS. Al-Qnfal: 8)
Syar’I menganggap asal air itu mengenai kesucian syara’. Akan tetapi, hal itu tidak lantas mengakibatkan bahwa diantara keduanya terdapat perbedaan jika dilihat dari segi menghilangkan penghalang dengan cara memperhitungkan wajib niat.
Ada pula segolongan ulama Hanafiyyah bahwa niat itu wajib pada tayammum karena telah ditegaskan oleh ayat tentang tayammum itu sendiri dengan qashad, sedangkan hal itu tidak terdapat pada ayat wudhu. pendapat itupun ditolak dengan tegas oleh Al-Kamaal. Ia berpendapat bahwa qashad yang terdapat pada ayat tayammum tersebut bukanlah qashad yang disyaratkan untuk sah, yaitu qashad untuk membolehkan mengerjakan sholat maupun sesuatu yang tidak boleh, kecuali ia melakukannya. Pada ayat tayammum adalah qashad menggunakan tanah.
Menurut kami pendapat yang rajIh tentang niat dalam wudhu yaitu “Wajib biat pada wudhu, dan mencakupnya air air pada seluruh anggota tanpa qashad sama sekali, atau maksud untuk mendinginkan itu bukanlah membasuh untuk shalat, sehingga tidak dapat menunaikan pekerjaan yang dilakukan berdasrkan syara’ serta mewujudkan perintah sebagaimana yang diperintahkan”.[9]






BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
            Para ulama bersepakat bahwa diwajibkan niat bagi seseorang yang melakukan tayammum, dan para ulama juga berselisih tentang wajib niat dalam bersuci dari hadas besar dan hadas kecil.
            Perbedaan pendapat mereka terletak pada niat dengan makna qashad menghilangkan hadas, bukan niat dalam makna ikhlas.
No
Madzhab
Hukum Niat
Dalil
1
Madzhab Jumhur ( Syafi’I, Maliki, Hanbali, Abu Tsaur, Daud )
Wajib
5.    Hadist Rasul tentang  niat
6.    Ikhlas dalam menyembah Allah
7.    Qiyas
8.    Firman Allah ( syarat mendirikan sholat )
2
 Madzhab Hanafi dan Ats – Tauri
Mustahab atau sunnah
5.    Tidak ada nash dalam Al – Qur’an
6.    Tidak ada nash dalam Sunnah
7.    Qiyas terhadap segala macam – macam thaharah
8.    Niat merupakan syarat untuk sholat, bukan syarat untuk wudlu



9.     

Fardu-fardu wudhu menurut pendapat para ulama:
No
Madzhab
Fardu Wudhu
1.
Syafi’i
niat, membasuh muka, membasuh dua tangan sampai dua siku, membasuh sebagian dari kepala walaupun hanya sedikit, membasuh dua kaki sampai ke dua lutut, tertib (6).
2.
Maliki
niat, membasuh muka, membasuh dua tangan sampai dua siku, membasuh seluruh bagian kepala, membasuh dua kaki sampai ke dua lutut, almuwalat, dilkul a’dho’ (7).
3.
Hanbali
membasuh muka, membasuh dua tangan sampai dua siku, membasuh seluruh bagian kepala, membasuh dua kaki sampai ke dua lutut, tertib, almuwalat (6).
4.
Hanafi
membasuh muka, membasuh dua tangan sampai dua siku, membasuh dua kaki sampai ke dua lutut membasuh seperempat  bagian kepala

DAFTAR PUSTAKA
Mahmud Syaltut,  Fiqh Tujuh Madzhab, Pustaka Setia, Bandung: 2007
Abu Zakariya Yahya bin Syarifuddin An-Nawawi, Syarh Arba’in An- Nawawi.          Darul Hadi Al-Muhada, 2011.
Sayyid Sabiq, Al-Fiqh As-Sunnah Jilid 1, Darul Hadits, Cairo: 2009
Al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Damsyiqi, Fiqih Empat Madzhab, al-Haramain li ath-Thiba’ah wa an-nasya wa at-Tawzi’, Jeddah: 2013
Abdurrahman Al-jaziri, Al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-‘Arba’ah, Darubnu ‘Ishoshoh, Beirut, Lebanon: 2010.
Ibnu Rusyd al-Qurtubiy,  Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, , Darus Salam li ath-Thiba’ah wa an-nasya wa at-Tawzi’, Cairo: 1995
Wahbah Az-Zahili  Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuh, Dar el-Fikr li ath-Thiba’ah wa an-nasya wa at-Tawzi’, Damaskus: 1985



[1] Mahmud Syaltut “Fiqh 7 Madzhab” .hlm 41
[2] Abu Zakariya Yahya bin Syarifuddin An – Nawawi, “Syarh Arba’in Nawawi….”, hlm.28
[3] Sayyid sabiq, “Fiqh Sunnah ….”, hlm.29
[4] Al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Damsyiqi “rohmatul Ummah fi Ikhtilafil Aimmah”.hlm 25
[5] Ibid
[6] Ibn Rusyd “Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid”.hlm 6
[7] Wahbah Az-Zahili “ Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuh”.hlm 227
[8] Mahmud Syaltut “Fiqh 7 Madzhab” .hlm 42
[9] Mahmud Syaltut “Fiqh 7 Madzhab” .hlm 49