AN-NIAH FIL WUDHU
MAKALAH
Untuk Memenuhi Tugas
Fiqih Perbandingan Madzhab
Dosen Pengampu :
Bpk. Ahmad Fajar Shodiq Lc.
Anggota :
Vanya Ironies :
U20151034
Hasbela Ardini :
U20151041
Husniatin :
U20151042
Ilmu Al-Quran dan Tafsir
Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora
IAIN JEMBER
Tahun 2016
Alhamdulillah, syukur kehadirat Allah SWT Rabb semesta
alam, yang telah melimpahkan rahmat-Nya
pada kita semua. Sholawat dan salam selalu kepada kekasih Allah, Rasulullah SAW
juga para sahabat serta para pengikut yang mengikuti sunnah-sunnahnya.
Makalah dengan judul “ An-Niah fil wudlu ” merupakan
salah satu tugas terstruktur perbandingan madzhab bagi mahasiswa semester dua
Ilmu Al-Quran dan Tafsir IAIN Jember.
Tak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu dalam penulisan makalah ini, terutama kepada :
1.
Allah SWT karena dengan
kehendak-Nya telah mengijinkan kami menyelesaikan tugas makalah ini dengan
baik.
- Bapak Ahmad Fajar Shodiq Lc. selaku Dosen mata
kuliah Fiqh Perbandingan Madzhab di Institut Agama Islam Negeri Jember
yang telah membimbing dalam penulisan makalah ini.
- Pihak-pihak lain yang
tidak penulis sebutkan satu persatu yang turut membantu sehingga makalah
ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan dan masih banyak kekurangan dan kesalahan didalamnya, oleh karena
itu segala kritik dan saran sangat penulis harapkan demi perbaikan di kemudian
hari. Akhir kata, penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Jember, 14 April 2016
Penulis
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I 3
PENDAHULUAN 3
A.
Latar
Belakang 3
B.
Rumusan
Masalah 3
C.
Tujuan 4
BAB II 1
PEMBAHASAN 1
A.
PENGERTIAN
NIAT 1
B.
PANDANGAN
PARA ULAMA................................................................... 2
C.
KRITIK
TERHADAP PENDAPAT PARA ULAMA.................................... 6
BAB III..................................................................................................................... 9
PENUTUP 9
KESIMPULAN 9
DAFTAR PUSTAKA 10
Dalam kehidupan
sehari – hari ketika kita melakukan perintah beribadah kepada Allah SWT yang
tertera dalam kitab Al – Qur’an dan sunnah. Tidaklah kita bisa pungkiri jika dalam
pelaksanaan tersebut terdapat perbedaan pandang dari berbagai ulama seperti
imam Syafi’i, Maliki, hambali, hanafi, dll.
Mengetahui
suatu hal hukum yang disepakati (ijma) dan perbedaan pendapatnya merupakan
perkara yang penting untuk kita perhatikan. Pendapatnya dijadikan rujukan,
tetapi bukan berarti adanya perbedaan
pendapat itu membenarkan pendapatnya dan menyalahkan pendapat yang lain,
karena dari perbedaan pendapat tersebut terdapat dalil yang sama – sama
menguatkan adanya.
Seperti halnya
niat. Niat itu tempatnya di hati, dalam hal ini niat terdapat dua maksud yaitu
niat dimaksudkan melakukan sesuatu dengan tujuan untuk mengerjakannya yang kedua
bermaksud untuk mendekatkan diri dan menggugurkan perintah.
Para ulama
berbeda pendapat tentang niat. Maka memukakan pendapatnya tentang niat dan
fardhunya niat. Selain itu Malikiyah, Hambali, dan Imamiyah dengan wajibnya
yang tertib, dan ulama Syafi’I
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian niat?
2.
Bagaimana niat dalam wudhu menurut pandangan
para ulama ?
3.
Bagaimana kritik terhadap pendapat dan dalil kehujjahan para ulama
tentang an-niyah fil wudhu, dan pendapat mana yang paling rojih?
C.
Tujuan
1.
Agar pembaca mengetahui apa maksud dari niat.
2.
Agar pembaca mengerti pendapat para ulama baik
jumhur atau Hanafiyyah serta dalil kehujjahan mereka tentang niat dalam wudhu.
3.
Agar pembaca mengerti bahwa pendapat jumhur dan
Hanafiyyah bisa dikritisi serta dapat mentarjih pendapat yang paling kuat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN NIAT
Niat
sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Al-Fiqh Al-Islami wa adillatuh memiliki
arti secara bahasa yaitu bermaksud dari dalam hati. Sedangkan secara syar’an
yang berarti seseorang jika ingin bertharah hendaknya ia berniat untuk
melaksanakan fardlu, atau berniat untuk menghilangkan hadats agar diperbolehkan
untuk mengerjakan amalan yang diwajibkan dengan thaharah. Ada penjelasan lain,
niat itu memiliki dua arti:
1.
Bermaksud untuk melakukan sesuatu dengan tujuan untuk mengerjakannya.
2.
Bermaksud untuk mendekatkan diri serta mematuhi perintah.[1]
Dalam kitab
hadist karangan An - Nawawi menunjukkan bahwa niat merupakan barometer untuk
meluruskan amal perbuatan. Apabila niat baik, amalan menjadi baik. Sebaliknya,
bila niat rusak, amalan juga akan rusak.
Amalan yang
dilaksanakan disertai dengan niat, keadaannya diklasifikasi sebagai berikut :
1. Seseorang
melaksanakan amalan karena takut pada Allah SWT, maka ini merupakan ibadah para
budak.
2. Seseorang
melaksanakannya untuk mencari surga dan pahala, maka ini merupakan ibadahnya
para pedagang.
3. Seseorang
melaksanakannya karena malu kepada Allah SWT dalam rangka menunaikan kewajiban
beribadah dan bersyukur, seraya tetap memandang bahwa dirinya belum
menunaikannya secara penuh, hatinya juga merasa takut karena tidak tahu apakah
amalannya diterima atau tidak. Inilah merupakan ibadah orang – orang yang
merdeka.[2]
Sedangkan niat menurut dalam fikih sunnah, yaitu keinginan yang
tertuju kepada suatu amalan yang mengharapkan ridho Allah SWT dan menjalankan
perintah Nya. Niat itu merupakan amalan hati yang murni dan melafalkannya tidak
disyariatkan.[3]
Menurut ijma’ niat adalah wajib dalam thaharah, seperti dalam mandi
wajib, wudhu dan tayamum. Oleh karena itu, thaharah harus dengan niat. Berbeda
dengan hanafi mandi wajib dan wudhu tidak perlu dengan niat. Namun tayamum
harus dengan niat.[4]
Niat adanya didalam hati. Agar lebih sempurna niatnya dibarengi
dengan pelafalan dalam lisan. Akan tetapi, imam Maliki berpendapat bahwa
melafalkan niat itu makruh.
Para ulama’ berpendapat bahwa niat didalam hati saja sudah cukup,
tetapi apabila hanya melafalkannya saja tidak cukup. Sedang tiga imam madzhab
berpendapat membaca basmalah ketika wudhu adalah sunnah, bukan wajib. Hambali
dengan riwayat yang paling shahih adalah membaca basmalah ketika berwudlu adalah
wajib.
Daud berpendapat jika wudhu dilakukan tanpa membaca basmalah maka
wudlhunya itu tidaklah sempurna baik meninggalkannya maupun sengaja ataupun
lupa berbeda pandangan dengan Ishaq bin Rahawih. Beliau berpendapat jika
berwudhu tanpa membaca basmalah kerena lupa maka wudhunya sah, tetapi jika
sengaja maka wudhunya tidak sah.[5]
B.
NIAT DALAM
WUDHU MENURUT PANDANGAN PARA ULAMA’ DAN DALIL KEHUJAHANNYA
Para
ulama berbeda pendapat apakah niat ini termasuk syarat sahnya wudhu atau bukan:
a.
Ulama jumhur berpendapat bahwa niat adalah fardu dan syarat sahnya
wudhu, niat ini untuk menguatkan ibadah dan bermaksud mendekatkan diri kepada
Allah. Sehingga, tanpa berwudhu sholat tidak akan sah. Jumhur disini mencakup ulama
Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanafiyyah, Ahmad, Abu Tsauri, dan Daud.[6]
Dalil yang dijadikan hujjah mereka:
1)
Dalam sabda Rasul:
إنما
الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى
Segala amal itu bergantung pada niatnya dan bagi tiap-tiap orang
mendapat apa yang diniatkannya.
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menjelaskan bahwa amalan tidak ada nilai menurut
pandangan syara’, melainkan dengan niat.
2) Dalam firman
Allah:
وما أمروا إلا
ليعبد الله مخلصين له الدين
Padahal mereka tidak diperintah kecuali supaya menyembah Allah
dengan ikhlas kepada-Nya dalam agama.
(Al-Bayyinah:
5)
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah telah menafikan suatu perintah,
kecuali dengan beribadah kepada-Nya dengan ikhlas. Hal itu mencakup semua yang
telah diperintahkan kepada kita. Salah satu hal yang diperintahkan kepada kita
adalah wudhu, wudhu tidak akan benar kecuali dengan niat ikhlas karena Allah,
karena ikhlas merupakan amalan hati yaitu niat itu sendiri.[7]
3)
Qiyas: niat disyaratkan dalam wudhu sebagaimana disyaratkannya niat
dalam sholat, begitu pula disyaratkan niat dalam tayammum agar seseorang
diperbolehkan sholat.
4)
Wudhu merupakan sarana untuk sholat, maka tuntutan sholat ini memiliki
syarat, salah satunya adalah niat. Seperti firman Allah:
إذا
قمتم إلى الصلاة فاغسلوا وجوهكم ( الما ئدة: 6)
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah memerintahkan kita untuk berwudhu
apabila hendak mengerjakan sholat. Karena wudhu adalah ibadah, maka yang
diminta adalah membasuh anggota wudhu untuk mendirikan sholat, inilah ma’na
niat yang sebenarnya.
b.
Adapun ulama yang lain berpendapat bahwa niat itu disunnahkan bagi
seseorang yang berwudhu hanya diawal wudhunya untuk mendapat pahala, niat ini
untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mematuhi perintah-Nya, pendapat ini
menurut ulama Hanafiyyah dan Ats-Tsauri. Jadi ulama Hanafiyyah ini tidak
mewajibkan niat dalam berwudhu, tetapi menafikannya sehingga hukum niat disini
adalah Sunnah. Menurut mereka, orang yang didorong kemudian jatuh kedalam air
atau orang yang ingin mendinginkan anggota wudhu, maka itu telah dianggap
berwudhu.[8]
Dalil yang dijadikan hujjah mereka:
1)
Tidak adanya nash dalam Al-Qur’an, sesungguhnya ayat wudhu tadi
tidak memerintahkan untuk berniat, kecuali membasuh tiga anggota wudhu dan
mengusap kepala. Dari perintah tersebut, kita cukup mengerjakan apa yang
diperintahkan saja tanpa harus harus bergantung pada sesuatu yang lain. Adapun
menetapkan wajib niat dalam wudhu dengan menggunakan hadits ahad berarti
menambahkan nash Al-Qur’an. Tambahan nash pada Al-Qur’an ini berarti menasakh
Al-Qur’an, sedangkan nasakh menggunakan hadits ahad dianggap
tidak sah.
2)
Tidak adanya nash dalam Sunnah, Rasulullah belum pernah mengajarkan
tentang niat dalam wudhu kepada orang-orang Arab. Tetapi niat ini diwajibkan
pada seseorang bertayammum karena sarana tayammum menggunakan debu, dan
tayammum itu bukan amalan yang dapat menghilangkan hadats dengan cara meratakan
debu. Melainkan tayammum itu sebagai pengganti air.
3)
Qiyas terhadap segala macam-macam thaharah dan lainnya, makna wudhu
ialah bersuci menggunakan air, maka tidak disyaratkan adanya niat sebagaimana
menghilangkan najis. Wudhu pun adalah syarat untuk sholat bukan untuk menggantinya, maka tidak diwajibkan niat
sebagaimana menutup aurat. Begitu juga tidak diwajibkan adanya niat untuk mandi
wanita kafir dzimmi ketika telah terputus dari haidnya. Bolehkan
suaminya suaminya yang muslim mencampurinya bila ia sudah mandi? Apabila hukum
niat itu fardu, tentu suaminya tidak boleh mencampurinya. Disamping itu, tidak
ada seorangpun yang membedakan antara mandi dan wudu.
4)
Wudhu adalah sarana untuk sholat, tapi bukan berarti wudhu termasuk
dari sholat tersebut. Sedangkan niat merupakan syarat yang diwajibkan dalam
sholat, bukan disyaratkan dalam wudhu.
Dibawah ini merupakan bagan untuk
memudahkan pembaca tentang pendapat niat fil wudlu menurut para ulama :
No
|
Madzhab
|
Hukum
Niat
|
Dalil
|
1
|
Madzhab
Jumhur ( Syafi’I, Maliki, Hanbali, Abu Tsaur, Daud )
|
Wajib
|
1.
Hadist Rasul tentang niat
2.
Ikhlas dalam menyembah Allah
3.
Qiyas
4.
Firman Allah ( syarat mendirikan sholat )
|
2
|
Madzhab Hanafi dan Ats – Tauri
|
Mustahab
atau sunnah
|
1.
Tidak ada nash dalam Al – Qur’an
2.
Tidak ada nash dalam Sunnah
3.
Qiyas terhadap segala macam – macam thaharah
4.
Niat merupakan syarat untuk sholat, bukan syarat untuk wudlu
|
C.
KRITIK
TERHADAP PENDAPAT – PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG NIAT DALAM WUDHU
Pendapat kami mengenai kehujahan
niat yang dikemukakan oleh jumhur ulama bahwasannya hadist tersebut menerangkan
diterima tidaknya suatu amal dan tidak ada hubungannya dengan sah atau tidaknya
amalan tersebut. Dikemukakan oleh jumhur ulama sebagai berikut :
فمن
كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله
“Maka barang siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul Nya,
maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya.”
Dikatakan
sahnya suatu amal tidak harus bergantung pada niat. Ada banyak amal yang sah
menurut syara’ tetapi tidak diterima. Jelaslah bahwa wudhu menjadi syarat untuk
sahnya shalat, tetapi bukan berarti sholat tersebut diterima, maka dari itu
wudhu dianggap sah menurut syara’.
Adapun mengenai ayat :
وما أمروا إلا
ليعبد الله مخلصين له الدين
Padahal mereka tidak diperintah kecuali supaya menyembah Allah
dengan ikhlas kepada-Nya dalam agama.
(Al-Bayyinah:
5)
Tetapi wudhu
yang merupakan sahnya shalat, tidaklah mesti menjadi ibadah. Ketahuiah,
tidaklah semua yang diperintahkan itu merupakan ibadah. Dan perbuatan yang
diperintahkan itu ada dua macam :
1.
Diperintahkan karena dzatnya sebagaiman shalat, wudhu merupakan
ibadah dan untuk sahnya harus ada niat
2.
Diperintahkan karena hal lain. Dalam hal ini yang dituju adalah
hasilnya hasilnya bukan yang mengasilkannya.
Disini wudhu
tergolong pada pengertian kedua, bukan yang pertama. Dan ikhlas yang tercantum
dalam ayat adalah ikhlas yang menentukan diterima tidaknya perbuatan disisi
Allah SWT, bukan niat yang diperhitungkan sebagai syarat sahnya amal. Niat itu ada
tanpa ikhlas, seperti wudhu dan shalat orang yang sengaja memperlihatkan pada
orang lain.
Kemudian mengenai
wudhu, jelas menerangkan wajibnya wudhu bila memenuhi persyaratannya. Adapun
berwudhu ketika mandi harus berniat untuk shalat adalah untuk mematuhi suatu
perintah. Hal ini tidak ditunjukkan dalam ayat itu.
Selanjutnya
kritik kami tentang kehujahan yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyah adalah
mengenai ayat wudhu kami menyetujui bahwa ayat tersebut tidak memerintahkan
selain apa yang dikemukakan didalamnya. Akan tetapi kami menolak endapat mereka
bahwa perinta itu hanya ditujukan untuk bagian – bagian ( anggota wudhu )
saja.akan tetapi, sebagaimana telah diakui oleh semua golongan bahwa wajibnya
perkara yang diperintahkan tidak menutup pintu syari’untuk mengsyaratkan hal
lainnya yang terambil dalil itu ataupun dari dalil lain. Apakah mereka tidak
melihat bahwa tayamum itu diperinahkan dan tayamum ini tidaklah mencukupi tanpa
niat atau menghilangkan hadast.
Kami juga tidak
dapat menerima kewajiban niat itu tsabit dengan hadist ahad, melainkan tsabit
dengan keumuman agama, yaitu menghendaki keikhlasan dalam ibadah. Oleh
sebab itu, ia tidak merupakan suatu tambahan diatas Al – Qur’an dengan hadist
ahad sebagaimana pendapat mereka.
Apabila kami
menerima bahwa itu berdasarkan hadist ahad, sesungguhnya banyak sekali hadist
ahad yang menetapkan perkara – perkara yang tidak terdapat dalam Al –
Qur’an.
Adapun tentang
pendapat Hanafiyah bahwa air iu telah dijadikan dalam keadaan bersih sehingga
dalam membersihkan anggota tidaklah diperlukan niat lagi, inipun tidak dapat
diterima. Hal ini karena kebersihan ( kesucian ) nya air yang disebutkan dalam
firman Allah SWT :
وأنزلنا
من السماء مآء طهورا.
لنحيي به بلدة ميتا و نسقيه مما خلقنا
أنعاما وأنا سي كثيرا
Dan
Kami turunkan dari langit air yang bersih. Agar Kami menghidupkan dengan air
negeri (tanah) yang mati, dan agar Kami memberi minum dengan air itu sebagian
besar dari makhluk Kami, binatang-binatang ternak dan manusia yang banyak.
(QS. Al-Furqon: 25)
Suci dan bersih
lahiriah, yaitu bersih dari benda-benda yang dapat mengurangi keistimewaannya. Dengan
demikian jelaslah bahwa ayat ini todak membicarakan suci menurut syara’ yang
sedang kita bahas. Ada
pula ayat lain yang menerangkan bahwa tanah juga suci, yaitu:
ليطهركم
Untuk
membersihkan kamu
(QS. Al-Qnfal: 8)
Syar’I menganggap
asal air itu mengenai kesucian syara’. Akan tetapi, hal itu tidak lantas
mengakibatkan bahwa diantara keduanya terdapat perbedaan jika dilihat dari segi
menghilangkan penghalang dengan cara memperhitungkan wajib niat.
Ada pula
segolongan ulama Hanafiyyah bahwa niat itu wajib pada tayammum karena
telah ditegaskan oleh ayat tentang tayammum itu sendiri dengan qashad,
sedangkan hal itu tidak terdapat pada ayat wudhu. pendapat itupun ditolak
dengan tegas oleh Al-Kamaal. Ia berpendapat bahwa qashad yang terdapat
pada ayat tayammum tersebut bukanlah qashad yang disyaratkan untuk sah,
yaitu qashad untuk membolehkan mengerjakan sholat maupun sesuatu yang
tidak boleh, kecuali ia melakukannya. Pada ayat tayammum adalah qashad menggunakan
tanah.
Menurut kami pendapat yang rajIh
tentang niat dalam wudhu yaitu “Wajib biat pada wudhu, dan mencakupnya air
air pada seluruh anggota tanpa qashad sama sekali, atau maksud untuk
mendinginkan itu bukanlah membasuh untuk shalat, sehingga tidak dapat
menunaikan pekerjaan yang dilakukan berdasrkan syara’ serta mewujudkan perintah
sebagaimana yang diperintahkan”.[9]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Para ulama bersepakat
bahwa diwajibkan niat bagi seseorang yang melakukan tayammum, dan para ulama
juga berselisih tentang wajib niat dalam bersuci dari hadas besar dan hadas
kecil.
Perbedaan
pendapat mereka terletak pada niat dengan makna qashad menghilangkan
hadas, bukan niat dalam makna ikhlas.
No
|
Madzhab
|
Hukum Niat
|
Dalil
|
1
|
Madzhab Jumhur ( Syafi’I, Maliki,
Hanbali, Abu Tsaur, Daud )
|
Wajib
|
5.
Hadist Rasul
tentang niat
6.
Ikhlas dalam
menyembah Allah
7.
Qiyas
8.
Firman Allah
( syarat mendirikan sholat )
|
2
|
Madzhab Hanafi dan Ats – Tauri
|
Mustahab atau sunnah
|
5.
Tidak ada
nash dalam Al – Qur’an
6.
Tidak ada
nash dalam Sunnah
7.
Qiyas
terhadap segala macam – macam thaharah
8.
Niat
merupakan syarat untuk sholat, bukan syarat untuk wudlu
|
|
|
|
9.
|
Fardu-fardu
wudhu menurut pendapat para ulama:
No
|
Madzhab
|
Fardu Wudhu
|
1.
|
Syafi’i
|
niat,
membasuh muka, membasuh dua tangan sampai dua siku, membasuh sebagian dari
kepala walaupun hanya sedikit, membasuh dua kaki sampai ke dua lutut, tertib
(6).
|
2.
|
Maliki
|
niat,
membasuh muka, membasuh dua tangan sampai dua siku, membasuh seluruh bagian
kepala, membasuh dua kaki sampai ke dua lutut, almuwalat, dilkul a’dho’ (7).
|
3.
|
Hanbali
|
membasuh
muka, membasuh dua tangan sampai dua siku, membasuh seluruh bagian kepala,
membasuh dua kaki sampai ke dua lutut, tertib, almuwalat (6).
|
4.
|
Hanafi
|
membasuh
muka, membasuh dua tangan sampai dua siku, membasuh dua kaki sampai ke dua
lutut membasuh seperempat bagian
kepala
|
DAFTAR PUSTAKA
Mahmud Syaltut, Fiqh
Tujuh Madzhab, Pustaka Setia, Bandung: 2007
Abu
Zakariya Yahya bin Syarifuddin An-Nawawi, Syarh Arba’in An- Nawawi. Darul Hadi Al-Muhada, 2011.
Sayyid Sabiq, Al-Fiqh
As-Sunnah Jilid 1, Darul Hadits, Cairo: 2009
Al-‘Allamah
Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Damsyiqi, Fiqih Empat Madzhab, al-Haramain
li ath-Thiba’ah wa an-nasya wa at-Tawzi’, Jeddah: 2013
Abdurrahman
Al-jaziri, Al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-‘Arba’ah, Darubnu ‘Ishoshoh,
Beirut, Lebanon: 2010.
Ibnu Rusyd al-Qurtubiy, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid,
, Darus Salam li ath-Thiba’ah wa an-nasya wa at-Tawzi’, Cairo: 1995
Wahbah
Az-Zahili Al-Fiqhul Islamiy wa
Adillatuh, Dar el-Fikr li ath-Thiba’ah wa an-nasya wa at-Tawzi’, Damaskus:
1985
[1]
Mahmud Syaltut “Fiqh 7 Madzhab” .hlm 41
[2]
Abu Zakariya Yahya bin Syarifuddin An – Nawawi, “Syarh Arba’in Nawawi….”,
hlm.28
[3]
Sayyid sabiq, “Fiqh Sunnah ….”, hlm.29
[4]
Al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Damsyiqi “rohmatul Ummah fi
Ikhtilafil Aimmah”.hlm 25
[5] Ibid
[6]
Ibn Rusyd “Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid”.hlm 6
[7]
Wahbah Az-Zahili “ Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuh”.hlm 227
[8]
Mahmud Syaltut “Fiqh 7 Madzhab” .hlm 42
[9]
Mahmud Syaltut “Fiqh 7 Madzhab” .hlm 49