Name : Vanya Ironies
NIM : U20151034
Class : IAT 1
Faculty : Ushuluddin
TASAWUF AKHLAQI DAN TASAWUF FALSAFI
Dalam perkembangan tasawuf,
menurut Amin Syukur, tasawuf memiliki dua aliran, Pertama, tasawuf yang
beraliran Sunni, yaitu tasawuf yang dipagari dengan Al-Qur’an dan
Al-Hadits. Kedua, tasawuf yang beraliran Falsafi, yaitu tasawuf yang
tercampur oleh ajaran-ajaran filsafat, serta menggunakan istilah-istilah
filsafat yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf.
Para pakar taswuf juga menyebutkan bahwa taswuf terbagi menjadi
tiga, Pertama, tasawuf yang lebih mengarah kepada teori-teori berperilaku,
atau disebut sebagai Tasawuf Akhlaqi. Kedua, tasawuf yang memiliki teori
yang rumit dan memerlukan pemahaman mendalam, atau disebut juga sebagai Tasawuf
Falasafi. Ketiga, tasawuf yang
medianya melalui pendekatan hati yang suci bersih sehingga ia dapat
berdialog dengan Tuhan secara batini, ini bisa disebut sebagai Tasawuf Irfani.
A.
TASAWUF AKHLAQI
Banyak orang
berpendapat bahwa tasawuf adalah ilmu rohani. Dikatakan ilmu rohani Ini kerana
pembahasannya adalah mengenai roh (hati). Jika kita menelusuri pendapat
ulama-ulama, termasuk ulama modern, kata tasawuf itu diambil dari bermacam-macam
makna. Salah satunya yaitu dari kata sofa’ memiliki makna bersih, suci,
dan murni. Singkatnya, ilmu tasawuf adalah ilmu yang menjelaskan bagaimana cara membersihkan atau memurnikan hati
atau nafsu. Agar dari hati yang bersih
itu dapat membersihkan juga anggota lahir dari suatu kemungkaran dan kesalahan.
Oleh karena itu, ilmu tasawuf itu adalah ilmu tentang cara-cara mensucikan
lahir dan batin dari dosa dan kesalahan. Bahkan kesalahan lahir ini bermuara
dari kesalahan batin. Karena itulah ia dikatakan ilmu tasawuf. Ilmu ini juga
dikatakan ilmu batin kerana roh atau hati memang tidak dapat dilihat oleh mata
kepala. Roh adalah makhluk yang tersembunyi. Maka ilmu tasawuf dinamakan ilmu
batin karena ia membahaskan tentang hati dan sifat-sifatnya tidak dapat dilihat
dengan mata lahir tapi bisa dilihat dengan mata batin.
Semua sufi
berpendapat bahwa satu-satunya cara yang
dapat mengantar seseorang ke hadirat Allah yaitu dengan kesucian dan kemurnian
jiwa. Sebab jiwa manusia adalah sebuah pancaran dari Dzat Allah Yang Suci,
segala sesuatu itu harus sempurna (perfection) dan suci, meskipun
tingkat kemurnian dan kesempurnaan itu bermacam-macam menurut dekat dan jauhnya
dari sumber aslinya.
Untuk samapai
pada tingkat kesempurnaan dan kesucian,maka jiwa sangat memerlukan pendidikan dan latihan
mental yang panjang, dapat diformulasikan dalam bentuk pengaturan sikap mental
dan kedisiplinan tingkah laku yang ketat. Kaum sufi sependapat bahwa kenikmatan
hidup duniawi bukanlah tujuan, melainkan sekedar jembatan. Sehingga, dalam
pendidikan mental, yang pertama dan yang paling utama dilakukan adalah
menguasai diri dari hawa nafsu. Sebab, Al-Ghozali berpendapat, tidak
terkontrolnya hawa nafsu yang ingin mengecap kenikmatan duniawi adalah sumber
utama dari kerusakan akhlak seseorang.
Oleh karena
itu, metode yang ditempuh dalam pendidikan mental-spiritual adalah menanamkan
rasa benci kehidupan duniawi. Maksdunya dengan melepaskan kesenangan dunia
untuk mencintai Tuhan. Karena esensi cinta kepada Tuhan yaitu melawan hawa
nafsu. Para sufi para sufi berpendapat, bahwa untuk merehabilitasi sikap mental
yang tidak baik, maka diperlukannya terapi yang tidak hanya dari aspek
lahiriah, melainkan dari aspek batiniah juga. Karenanya, sistem pembinaan dalam
tasawuf akhlaqi tersusun sebagai berikut.
1. Takhalli
Takhalli
adalah langkah pertama yang harus dilakukan oleh seorang sufi. Takhalli berarti
usaha mengosongkan diri dari perilaku dan perbuatan yang tidak baik atau akhlaq
tercela. Salah satu akhlaq tercela yang banyak menimbulkan akhlaq jelek lainnya
adalah ketergantungan hidup pada kelezatan duniawi. Hal ini dapat dicapai
dengan cara menjauhkan diri dari kemaksiatan dari segala bentuknya dan berusaha
melenyapkan dorongan hawa nafsu.
Ada
kelompok sufi yang ekstrim berkeyakinan bahwa kehidupan duniawi itu benar-benar
merupakan “racun pembunuh” atas kelangsungan cita-cita sufi. Menurut mereka,
persoalan duniawi adalah penghalang perjalanan, karenanya nafsu yang bertendesi
duniawi harus dimatikan agar manusia bebas berjalan menuju tujuan, yaitu
memperoleh kebahagiaan spiritual yang hakiki.
2. Tahalli
Tahalli
adalah upaya mengisi atau menghiasi diri dengan cara membiasakan diri dengan
sikap, perilaku, dan akhlaq terpuji. Pada tahap ini, kaum sufi berusaha agar
setiap gerak perilaku mereka selalu berjalan diatas ketentuan agama, baik
kewajiban luar seperti shalat, puasa, dan haji, maupun kewajiban dalam
contohnya iman, ketaatan, dan kecintaan kepada Tuhan.
Dengan
demikian, tahap tahalli merupakan tahap pengisian jiwa yang telah
dikosongkan. Sebab, apabila satu kebiasaaan telah dilepaskan, tetapi tidak
segera ada penggantinya, kekosongan itu dapat menimbulkan frustasi. Oleh karena
itu, kebiasaan lama ditinggalkan, dan harus diisi degan satu kebiasaan baru
yang baik. Seperti yang dikatakan Al-Ghozali, jiwa manusia itu dapat diubah,
dikuasai, dan dibentuk sesuai dengan kehendak manusia itu sendiri.
Contoh
sikap mental dan perbuatan baik yang sangat penting diisikan kedalam jiwa
manusia dan harus dibiasakan dalam perbuatannya adalah; a. Tobat, b. Takut
dan harap (khauf dan roja’), c. Zuhud, d. Al-Faqr, e. Shabr, f. Ridho, dan g. Muroqobah.
3. Tajalli
Sebagai pendalaman dan pemantapan
materi yang telah dilalui pada fase tahalli, rangkaian pendidikan akhlak
ini disempurnakan pada fase tajalli. Tajalli memiliki makna
terungkapknya nur ghoib. Para
sufi berpendapat bahwa tingkat kesempurnaan kesucian jiwa hanya dapat
ditempuhdengan stu jalan, yaitu cinta kepada Allah dan memperdalam rasa kecintaaan
itu. Karena dengan kesucian jiwa, jalan untuk mencapai Tuhan akan terbuka.
Tanpa jalan ini, akan sedikit kemungkinan terlkasananya tujuan dan perbuatan
yang dilakukan pun dianggap sebagai perbuatan yang baik.
Tasawuf
akhlaqi banyak dan terus berkembang sejak zaman klasik hingga zaman modern.
Sehingga banyak diminati orang karena ajaran-ajaran tasawuf akhlaqi bisa
dikategorikan tidak terlalu rumit. Tasawuf akhlaqi ini memiliki beberapa
karakteristik diantaranya:
a.
Tasawuf
akhlaqi berasaskan pada Al-Qur’an dan As-sunnah
b.
Tasawuf
akhlaqi juga tidak menggunakan istilah-istilah filsafat
c.
Lebih
bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antara manusia dan Tuhan. Dualisme
maksudnya adalah aajaran yang mengakui bahwa, walaupun manusia dapat
berhubungan dengan Tuhan, dalam hal esensinya, hubungan itu tetap berbeda
diantara keduanya. Sedekat apapun manusia dengan Tuhannya, tidak berarti
menjadikan manusia itu menyatu dengan Tuhan.
d.
Hubungan
antara hakikat dengan syari’at. Maksudnya keterkaitan antara tasawuf (sebagai
aspek batiniah) dengan fiqh (sebagai aspek lahiriah)
e.
Lebih
cenderung pada soal pembinaan hati,pendidikan akhlaq, dan pengobatan jiwa
dengan cara riyadhoh (olahraga mental) serta langkah takhalli, tahalli, dan
tajalli.
B.
TOKOH TASAWUF AKHLAQI
1.
Hasan
Al-Bashri (21-110 H)
Hasan Al-Bashri yang bernama lengkap
Abu Sa’ad al-Hasan Yasar ini adalah seorang zahid yang masyhur dikalangan
tabi’in. Pandangan taswuf Hasan Al-bashri sebagai berikut “ Takut (kahuf)
dan pengaharapan (roja’) tidak akan dilanda keluhan dan kemuraman, tidak pernah
tidru, senang karena selalu mengingat Allah”.
Salah
satu contoh ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri yang paling dikenal di kalangan sufi
adalah:
“Anak Adam!
Dirimu, diriku!
Dirimu hanya
satu,
Kalau ia
binasa, binasalah engkau
Dan orang yang
telah selamat tak dapat menolongmu.
Tiap-tiap
nikmat yang bukan surga adalah hina.
Dan tiap-tiap
bala bencana yang bukan neraka adalah mudah”.
2.
Al-Muhasibi
(165-234 H)
Al-Muhasibi
yang mimiliki nama lengkap Abu ‘Abdillah Al-Harits bin Asad Al-Bashri
Al-Baghdadi Al-Muhasibi ini adalah seorang yang tidak tertandingi dalam hal
ilmu, sifat wara’nya dan pengakuannya yang terpelihara sangat baik. Dikalangan
para sufi, ia diperkirakan sebagai orang yang pertama kali membahas masalah
akhlaq.
Al-Muhasibi
berpandangan bahwa keselamatan hanya dapat diperoleh dengan jalan bertaqwa
kepada Allah, menunaikan kewajiban-kewajiban, serta meneladani Rasulullah, dan
juga lebih mementingkan akhirat daripada kepentingan dunia.
3.
Al-Qusyairi
(376-465 H)
Al-Qusyairi
adalah salah seorang sufi utama pada abad kelima Hijriyah. Yang bernama lengkap
Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul Malik bin Thalhah bin Muhammad An-Naisaburi.
Beliau
adalah orang yang paling keras dalam menentang doktrin aliran-aliran
Mu’tazilah, Karamiyyah, Mujassamah, dan Syi’ah. Karena perbuatannya itu, dia
mendapat serangan keras dan dipenjara selama sebulan lebih atas titah Tughul
Bek karena hasutan dari seorag menterinya yang menganut aliran Mu’tazilah
Rafidhah.
4.
Al-Ghazali
(450-505)
Nama
lengkap Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi
Asy-Syafi’i Al-Ghazali. Ia memiliki 300 karangan. Ia juga mengarang pada usia
25 sewaktu masih di Naisabur. Waktu yang ia gunakan untuk mengarang dihabiskan
dalam tiga puluh tahun. Dengan begitu, setiap tahunnya ia menghasilkan banyak
karya yang tidak kurang dari 10 buah kitab besar dan kitab kecil. Contohnya:
tasawuf, tafsir, filsafat dan ilmu kalam, fiqh dan ushul fiqh, dan akhlaq.
C.
TASAWUF FALSAFI
Tasawuf
falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan
visi rasional sebagai sasarannya. Berbeda dengan tasawuf akhlaqi, tasawuf
falsafi menggunakan istilah-istilah filosofis dalam penjelasannya dan istilah
–istilah itu berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah
mempengaruhi para tokohnya.
Dari
berpadunya antara tasawuf dan filsafat dalam ajaran tasawuf falsafi ini
menyebabkan ajaran-ajaran tasawuf jenis ini bercampur dengan sejumlah ajaran
filsafat diluar Islam seperti Yunani, Persia, India, dan Agama Nashrani.
Meskipun mempunyai latarbelakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda dan
beraneka ragam, seiring dengan ekspansi Islam yang telah meluaspada waktu itu,
para tokoh tasawuf ini tetap berusaha menjaga kemandirian ajaran aliran mereka.
At-Taftazani
mengatakan, tasawuf falasafi mulai muncul dengan jelas dalam khazanah Islam
sejak abad keenam Hijriyah, meskipun para tokohnya baru dikenal seabad
kemudian. Sejak saat itu tasawuf ini mulai hidup dan terus berkembang, terutama
dikalangan para sufi yang juga filosof, samapai menjelang akhir-akhir ini.
Dan
menurut At-Taftazani juga, ciri umum tasawuf falsafi adalah ajaran yang
samar-samar akibat banyaknya terminologi khusus yang hanya dapat dipahami oleh
mereka yang memahami ajara tasawuf jenis ini. Selanjutnya tasawuf falsafi tidak
dapat dipandang sebagai filsafat, karena ajaran dan metodenya didasarkan pada
rasa (dzauq), dan tidak pula murni sebagai tasawuf, karena ajarannya
sering diungkapkan dalam bahasan dan
istilah-istilah filsafat, dan berkecenderungan mendalampada panteisme.
Tasawuf
ini memiliki objek sendiri dan berbedaa dengan tasawuf Sunni. Ibnu Khaldun
menyebutkan dalam karyanya, Al-Muqoddimah, bahwa para sufi Falsafi
memperhatikan ada empat objek utama dalam tasawuf jenis ini, antara lain;
Pertama,latihan rohaniah dengan rasa (dzauq), intuisi, dan muhasabah
diri. Latihan rohaniah ini bisa dilakukan melalui tahapan (maqam),
keadaan (hal), serta rasa (dzauq), para sufi Falsafi cenderung
sependapat dengan para sufi Sunni. Karena masalah itu menurut Ibnu Khaldun,
tidak bisa ditolak oleh siapa pun.
Kedua, sebuah hakikat yang tersingkap dari alam ghaib, misal Sang
Pencipta, sifat-sifat-Nya, kursi, arsy, wahyu, kenabian, malaikat, roh,
dan hakikat realitas. Tentang hakikat atau iluminasi ini, para sufi Falsafi
melakukan latihan rohaniah dengan mematikan kekuatan syahwat mereka dengan
jalan menggiatkan dzikir. Menurut mereka pula, dengan berdzikir dapat membuat
jiwa bisa memahami hakikat realitas.
Ketiga,kejadian-kejadian alam yang sangat berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan dan
keluarbiasaan.
Keempat, ungkapan dalam penciptaan yang definisinya samar-samar (syathahiyyat).
Dalam hal ini memunculkan banyak reaksi yang bervariasi, baik dalam bentuk
mengingkari, menyetujui, ataupun mentafsirkannya dengan tafsiran yang
berbeda-beda.
D.
TOKOH TASAWUF FALSAFI
1.
Ibn
‘Arabi (560-638 H) yang bernama lengkap Muhammad bin ‘Ali bin Ahmad bin
‘Abdullah Ath-Tha’i Al-Hitami.
2.
Al-Jili
(1365-1417 H), nama lengkapnya adalah ‘Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jili.
3.
Ibn
Sab’in (614-669 H) yang memiliki nama lengkap ‘Abdul Haqq Ibrahim Muhammad ibn
Nashr.
E.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Prof.
Dr. M. Sholihin M.Ag dan Prof. Dr. Rohison Anwar, M.Ag. Ilmu Tasawuf,
Cet. 1, Bandung: Pustaka Setia, 2008.
2.
H.
Moh. Toriquddin, Lc, M.HI, Sekularitas Tasawuf, MembumikaTasawuf dalam Dunia
Modern, UIN-Malang Press, 2008.
3.
Siregar,
Prof. H.A. Rivay, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, Ed. 2.,
Cet. 2. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar