Pengikut

Minggu, 10 April 2016

TASAWUF AKHLAQI DAN FALSAFI

Name   : Vanya Ironies
NIM    : U20151034
Class    : IAT 1
Faculty            : Ushuluddin
TASAWUF AKHLAQI DAN TASAWUF FALSAFI
Dalam perkembangan  tasawuf, menurut Amin Syukur, tasawuf memiliki dua aliran, Pertama, tasawuf yang beraliran Sunni, yaitu tasawuf yang dipagari dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Kedua,  tasawuf yang  beraliran Falsafi, yaitu tasawuf yang tercampur oleh ajaran-ajaran filsafat, serta menggunakan istilah-istilah filsafat yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf.
Para pakar taswuf juga menyebutkan bahwa taswuf terbagi menjadi tiga, Pertama, tasawuf yang lebih mengarah kepada teori-teori berperilaku, atau disebut sebagai Tasawuf Akhlaqi. Kedua, tasawuf yang memiliki teori yang rumit dan memerlukan pemahaman mendalam, atau disebut juga sebagai Tasawuf Falasafi. Ketiga, tasawuf yang  medianya melalui pendekatan hati yang suci bersih sehingga ia dapat berdialog dengan Tuhan secara batini, ini bisa disebut sebagai Tasawuf Irfani.
A.    TASAWUF AKHLAQI
Banyak orang berpendapat bahwa tasawuf adalah ilmu rohani. Dikatakan ilmu rohani Ini kerana pembahasannya adalah mengenai roh (hati). Jika kita menelusuri pendapat ulama-ulama, termasuk ulama modern, kata tasawuf itu diambil dari bermacam-macam makna. Salah satunya yaitu dari kata sofa’ memiliki makna bersih, suci, dan  murni. Singkatnya, ilmu tasawuf  adalah ilmu yang menjelaskan  bagaimana cara membersihkan atau memurnikan hati  atau nafsu. Agar dari hati yang bersih itu dapat membersihkan juga anggota lahir dari suatu kemungkaran dan kesalahan. Oleh karena itu, ilmu tasawuf itu adalah ilmu tentang cara-cara mensucikan lahir dan batin dari dosa dan kesalahan. Bahkan kesalahan lahir ini bermuara dari kesalahan batin. Karena itulah ia dikatakan ilmu tasawuf. Ilmu ini juga dikatakan ilmu batin kerana roh atau hati memang tidak dapat dilihat oleh mata kepala. Roh adalah makhluk yang tersembunyi. Maka ilmu tasawuf dinamakan ilmu batin karena ia membahaskan tentang hati dan sifat-sifatnya tidak dapat dilihat dengan mata lahir tapi bisa dilihat dengan mata batin.
Semua sufi berpendapat  bahwa satu-satunya  cara  yang dapat mengantar seseorang ke hadirat Allah yaitu dengan kesucian dan kemurnian jiwa. Sebab jiwa manusia adalah sebuah pancaran dari Dzat Allah Yang Suci, segala sesuatu itu harus sempurna (perfection) dan suci, meskipun tingkat kemurnian dan kesempurnaan itu bermacam-macam menurut dekat dan jauhnya dari sumber aslinya.
Untuk samapai pada tingkat kesempurnaan dan kesucian,maka  jiwa sangat memerlukan pendidikan dan latihan mental yang panjang, dapat diformulasikan dalam bentuk pengaturan sikap mental dan kedisiplinan tingkah laku yang ketat. Kaum sufi sependapat bahwa kenikmatan hidup duniawi bukanlah tujuan, melainkan sekedar jembatan. Sehingga, dalam pendidikan mental, yang pertama dan yang paling utama dilakukan adalah menguasai diri dari hawa nafsu. Sebab, Al-Ghozali berpendapat, tidak terkontrolnya hawa nafsu yang ingin mengecap kenikmatan duniawi adalah sumber utama dari kerusakan akhlak seseorang.
Oleh karena itu, metode yang ditempuh dalam pendidikan mental-spiritual adalah menanamkan rasa benci kehidupan duniawi. Maksdunya dengan melepaskan kesenangan dunia untuk mencintai Tuhan. Karena esensi cinta kepada Tuhan yaitu melawan hawa nafsu. Para sufi para sufi berpendapat, bahwa untuk merehabilitasi sikap mental yang tidak baik, maka diperlukannya terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriah, melainkan dari aspek batiniah juga. Karenanya, sistem pembinaan dalam tasawuf akhlaqi tersusun sebagai berikut.
1.      Takhalli
Takhalli adalah langkah pertama yang harus dilakukan oleh seorang sufi. Takhalli berarti usaha mengosongkan diri dari perilaku dan perbuatan yang tidak baik atau akhlaq tercela. Salah satu akhlaq tercela yang banyak menimbulkan akhlaq jelek lainnya adalah ketergantungan hidup pada kelezatan duniawi. Hal ini dapat dicapai dengan cara menjauhkan diri dari kemaksiatan dari segala bentuknya dan berusaha melenyapkan dorongan hawa nafsu.
Ada kelompok sufi yang ekstrim berkeyakinan bahwa kehidupan duniawi itu benar-benar merupakan “racun pembunuh” atas kelangsungan cita-cita sufi. Menurut mereka, persoalan duniawi adalah penghalang perjalanan, karenanya nafsu yang bertendesi duniawi harus dimatikan agar manusia bebas berjalan menuju tujuan, yaitu memperoleh kebahagiaan spiritual yang hakiki.

2.      Tahalli
Tahalli adalah upaya mengisi atau menghiasi diri dengan cara membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlaq terpuji. Pada tahap ini, kaum sufi berusaha agar setiap gerak perilaku mereka selalu berjalan diatas ketentuan agama, baik kewajiban luar seperti shalat, puasa, dan haji, maupun kewajiban dalam contohnya iman, ketaatan, dan kecintaan kepada Tuhan.
Dengan demikian, tahap tahalli merupakan tahap pengisian jiwa yang telah dikosongkan. Sebab, apabila satu kebiasaaan telah dilepaskan, tetapi tidak segera ada penggantinya, kekosongan itu dapat menimbulkan frustasi. Oleh karena itu, kebiasaan lama ditinggalkan, dan harus diisi degan satu kebiasaan baru yang baik. Seperti yang dikatakan Al-Ghozali, jiwa manusia itu dapat diubah, dikuasai, dan dibentuk sesuai dengan kehendak manusia itu sendiri.
Contoh sikap mental dan perbuatan baik yang sangat penting diisikan kedalam jiwa manusia dan harus dibiasakan dalam perbuatannya adalah; a. Tobat, b. Takut dan harap (khauf dan roja’), c. Zuhud, d. Al-Faqr, e. Shabr, f. Ridho, dan  g. Muroqobah.

3.      Tajalli
            Sebagai pendalaman dan pemantapan materi yang telah dilalui pada fase tahalli, rangkaian pendidikan akhlak ini disempurnakan pada fase tajalli. Tajalli memiliki makna terungkapknya nur ghoib.  Para sufi berpendapat bahwa tingkat kesempurnaan kesucian jiwa hanya dapat ditempuhdengan stu jalan, yaitu cinta kepada Allah dan memperdalam rasa kecintaaan itu. Karena dengan kesucian jiwa, jalan untuk mencapai Tuhan akan terbuka. Tanpa jalan ini, akan sedikit kemungkinan terlkasananya tujuan dan perbuatan yang dilakukan pun dianggap sebagai perbuatan yang baik.

Tasawuf akhlaqi banyak dan terus berkembang sejak zaman klasik hingga zaman modern. Sehingga banyak diminati orang karena ajaran-ajaran tasawuf akhlaqi bisa dikategorikan tidak terlalu rumit. Tasawuf akhlaqi ini memiliki beberapa karakteristik diantaranya:
a.       Tasawuf akhlaqi berasaskan pada Al-Qur’an dan As-sunnah
b.      Tasawuf akhlaqi juga tidak menggunakan istilah-istilah filsafat
c.       Lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antara manusia dan Tuhan. Dualisme maksudnya adalah aajaran yang mengakui bahwa, walaupun manusia dapat berhubungan dengan Tuhan, dalam hal esensinya, hubungan itu tetap berbeda diantara keduanya. Sedekat apapun manusia dengan Tuhannya, tidak berarti menjadikan manusia itu menyatu dengan Tuhan.
d.      Hubungan antara hakikat dengan syari’at. Maksudnya keterkaitan antara tasawuf (sebagai aspek batiniah) dengan fiqh (sebagai aspek lahiriah)
e.       Lebih cenderung pada soal pembinaan hati,pendidikan akhlaq, dan pengobatan jiwa dengan cara riyadhoh (olahraga mental) serta langkah takhalli, tahalli, dan tajalli.

B.     TOKOH TASAWUF AKHLAQI
1.      Hasan Al-Bashri (21-110 H)
Hasan Al-Bashri yang bernama lengkap Abu Sa’ad al-Hasan Yasar ini adalah seorang zahid yang masyhur dikalangan tabi’in. Pandangan taswuf Hasan Al-bashri sebagai berikut “ Takut (kahuf) dan pengaharapan (roja’) tidak akan dilanda keluhan dan kemuraman, tidak pernah tidru, senang karena selalu mengingat Allah”.
            Salah satu contoh ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri yang paling dikenal di kalangan sufi adalah:
“Anak Adam!
Dirimu, diriku!
Dirimu hanya satu,
Kalau ia binasa, binasalah engkau
Dan orang yang telah selamat tak dapat menolongmu.
Tiap-tiap nikmat  yang bukan surga adalah hina.
Dan tiap-tiap bala bencana yang bukan neraka adalah mudah”.

2.      Al-Muhasibi (165-234 H)
Al-Muhasibi yang mimiliki nama lengkap Abu ‘Abdillah Al-Harits bin Asad Al-Bashri Al-Baghdadi Al-Muhasibi ini adalah seorang yang tidak tertandingi dalam hal ilmu, sifat wara’nya dan pengakuannya yang terpelihara sangat baik. Dikalangan para sufi, ia diperkirakan sebagai orang yang pertama kali membahas masalah akhlaq.
Al-Muhasibi berpandangan bahwa keselamatan hanya dapat diperoleh dengan jalan bertaqwa kepada Allah, menunaikan kewajiban-kewajiban, serta meneladani Rasulullah, dan juga lebih mementingkan akhirat daripada kepentingan dunia.
3.      Al-Qusyairi (376-465 H)
Al-Qusyairi adalah salah seorang sufi utama pada abad kelima Hijriyah. Yang bernama lengkap Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul Malik bin Thalhah bin Muhammad An-Naisaburi.
Beliau adalah orang yang paling keras dalam menentang doktrin aliran-aliran Mu’tazilah, Karamiyyah, Mujassamah, dan Syi’ah. Karena perbuatannya itu, dia mendapat serangan keras dan dipenjara selama sebulan lebih atas titah Tughul Bek karena hasutan dari seorag menterinya yang menganut aliran Mu’tazilah Rafidhah.
4.      Al-Ghazali (450-505)
Nama lengkap Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali. Ia memiliki 300 karangan. Ia juga mengarang pada usia 25 sewaktu masih di Naisabur. Waktu yang ia gunakan untuk mengarang dihabiskan dalam tiga puluh tahun. Dengan begitu, setiap tahunnya ia menghasilkan banyak karya yang tidak kurang dari 10 buah kitab besar dan kitab kecil. Contohnya: tasawuf, tafsir, filsafat dan ilmu kalam, fiqh dan ushul fiqh, dan akhlaq.

C.    TASAWUF FALSAFI
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional sebagai sasarannya. Berbeda dengan tasawuf akhlaqi, tasawuf falsafi menggunakan istilah-istilah filosofis dalam penjelasannya dan istilah –istilah itu berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya.
Dari berpadunya antara tasawuf dan filsafat dalam ajaran tasawuf falsafi ini menyebabkan ajaran-ajaran tasawuf jenis ini bercampur dengan sejumlah ajaran filsafat diluar Islam seperti Yunani, Persia, India, dan Agama Nashrani. Meskipun mempunyai latarbelakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda dan beraneka ragam, seiring dengan ekspansi Islam yang telah meluaspada waktu itu, para tokoh tasawuf ini tetap berusaha menjaga kemandirian ajaran aliran mereka.
At-Taftazani mengatakan, tasawuf falasafi mulai muncul dengan jelas dalam khazanah Islam sejak abad keenam Hijriyah, meskipun para tokohnya baru dikenal seabad kemudian. Sejak saat itu tasawuf ini mulai hidup dan terus berkembang, terutama dikalangan para sufi yang juga filosof, samapai menjelang akhir-akhir ini.
Dan menurut At-Taftazani juga, ciri umum tasawuf falsafi adalah ajaran yang samar-samar akibat banyaknya terminologi khusus yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang memahami ajara tasawuf jenis ini. Selanjutnya tasawuf falsafi tidak dapat dipandang sebagai filsafat, karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq), dan tidak pula murni sebagai tasawuf, karena ajarannya sering diungkapkan  dalam bahasan dan istilah-istilah filsafat, dan berkecenderungan mendalampada panteisme.

Tasawuf ini memiliki objek sendiri dan berbedaa dengan tasawuf Sunni. Ibnu Khaldun menyebutkan dalam karyanya, Al-Muqoddimah, bahwa para sufi Falsafi memperhatikan ada empat objek utama dalam tasawuf jenis ini, antara lain;
Pertama,latihan rohaniah dengan rasa (dzauq), intuisi, dan muhasabah diri. Latihan rohaniah ini bisa dilakukan melalui tahapan (maqam), keadaan (hal), serta rasa (dzauq), para sufi Falsafi cenderung sependapat dengan para sufi Sunni. Karena masalah itu menurut Ibnu Khaldun, tidak bisa ditolak oleh siapa pun.
Kedua, sebuah hakikat yang tersingkap dari alam ghaib, misal Sang Pencipta, sifat-sifat-Nya, kursi, arsy, wahyu, kenabian, malaikat, roh, dan hakikat realitas. Tentang hakikat atau iluminasi ini, para sufi Falsafi melakukan latihan rohaniah dengan mematikan kekuatan syahwat mereka dengan jalan menggiatkan dzikir. Menurut mereka pula, dengan berdzikir dapat membuat jiwa bisa memahami hakikat realitas.
Ketiga,kejadian-kejadian alam yang sangat berpengaruh  terhadap berbagai bentuk kekeramatan dan keluarbiasaan.
Keempat, ungkapan dalam penciptaan yang definisinya samar-samar (syathahiyyat). Dalam hal ini memunculkan banyak reaksi yang bervariasi, baik dalam bentuk mengingkari, menyetujui, ataupun mentafsirkannya dengan tafsiran yang berbeda-beda.

D.    TOKOH TASAWUF FALSAFI
1.      Ibn ‘Arabi (560-638 H) yang bernama lengkap Muhammad bin ‘Ali bin Ahmad bin ‘Abdullah Ath-Tha’i Al-Hitami.
2.      Al-Jili (1365-1417 H), nama lengkapnya adalah ‘Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jili.
3.      Ibn Sab’in (614-669 H) yang memiliki nama lengkap ‘Abdul Haqq Ibrahim Muhammad ibn Nashr.

E.     DAFTAR PUSTAKA
1.      Prof. Dr. M. Sholihin M.Ag dan Prof. Dr. Rohison Anwar, M.Ag. Ilmu Tasawuf, Cet. 1, Bandung: Pustaka Setia, 2008.
2.      H. Moh. Toriquddin, Lc, M.HI, Sekularitas Tasawuf, MembumikaTasawuf dalam Dunia Modern, UIN-Malang Press, 2008.

3.      Siregar, Prof. H.A. Rivay, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, Ed. 2., Cet. 2. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar