B. MANHAJ
SAHABAT DAN TABI’IN DALAM MENJAGA HADITS
Periode kedua sejarah perkembangan hadits adalah masa
sahabat, khususnya masa Khulafa’ Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar ibn Khatab,
Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib) yang berlangsung sekitar tahun 11 H
sampai dengan 40 H. Masa ini juga disebut masa sahabat besar.
Karena pada masa ini perhatian para sahabat masih
terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Al-qur’an, maka periwayatan hadis
belum begitu berkembang, dan kelihatannya berusaha membatasinya, (masa
al-Tasabbut wa al-Iqlal min al-Riwayah)
Abu Bakar pernah berkeinginan membukukan sunnah,
tetapi digagalkan karena khawatir terjadi fitnah ditangan orang-orang yang
tidak dapat dipercaya. Al-hakim menceritakan bahwa Aisyah ra. berkata: “Ayahku
menghimpun 500 hadits, semalaman beliau bolak-balik memeriksanya.. ketika pagi
beliau minta hadits-hadits yang ada ditanganku untuk dibakan dan berkata: ‘Aku
khawatir jika aku mati sementara hadits-hadits itu masih ditanganmu dari
orang-orang yang terpercaya, tetapi tidak diriwayatkan sebagaimana mestinya.”
Umar bin Al-Khattab juga ingin pernah ingin mencoba
menghimpunnya, tetapi setelah bermusyawarah dan beristikharah selama satu bulan
belaiu berkata:
Sesungguhnya
aku mempunyai hasrat menulis sunnah, aku telah menyebutkan suatu kaum sebelum
kalian yang menulis beberapa buku, kemudian mereka sibuk dengannya dan meninggalkan Kitab Allah. Demi Allah,
sesungguhnya aku tidak akan mencampuradukkan Kitab Allah dengan sesuatu yang
lain selamanya.[1]
Diantara manhaj para sahabat dalam mengumpulkan hadits
yaitu:
1. Menjaga Pesan Rasul SAW
Pada masa menjelang kerasulannya , Rasul SAW.berpesan
kepada para sahabat agar berpegang teguh kepada al-Qur’an dan Hadits serta
mengajarkannya kepada orang lain, sebagaimana sabdanya :
ترَكْتُ
فِيْكُمْ اَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا مَسَكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّتى
(روا ه مالك)
Telah aku tinggalkan untuk kalian 2
macam, yang tidak akan sesat setelah berpegang kepada keduanya, yaitu Kitab Allah (al-Qur’an)
dan Sunahku (al-Hadits(
Pasan-pesan Rasul SAW sangat mendalam pengaruhnya
kepada para sahabat, sehingga segala perhatian yang tercurah semata-mata untuk
melaksanakan dan memelihara pesan-pesannya. Kecintaan mereka kepada Rasul SAW.
dibuktikan dengan melaksanakan segala yang dicontohkannya.[2]
2. Berhati-hati dalam meriwayatkan dan menerima hadits.
Perhatian para sahabat pada masa ini terutama sekali
terfokus pada usaha memelihara dan menyebarkan al-Qur’an. Ini terlihat
bagaimana al-Qur’an dibukukan pada masa Abu Bakar atas saran Umar bin Khatab.
Pada masa ini belum ada usaha secara resmi untuk menghimpun hadits dalam suatu
kitab, seperti halnya al-Qur’an. Ini disebabkan agar tidak memalingkan
perhatian atau kekhususan mereka (umat islam) dalam mempelajari al-Qur’an,
sebab lain pula, bahwa para sahabat yang banyak menerima hadits dari Rasullah SAW.
Sudah tersebar keberbagai daerah kekuasaan islam, dengan kesibukannya
masing-masing sebagai pembina masyarakat. Sehingga dengan kondisi seperti ini,
ada kesulitan mengumpulkan mereka secara lengkap. Pertimbangan lainnya, bahwa
dalam membukukan hadits, dikalangan para sahabat sendiri terjadi perselisihan
pendapat. Belum lagi terjadinya perselisihan soal lafadz dan kesahihannya.
3. Meriwayatkan Hadits dengan Lafadz dan Makna
Pembatasan atau penyederhanaan periwayatan hadits, yang
ditujukan oleh para sahabat dengan sikap kehati-hatiannya, tidak berarti hadist-hadist
Rasul tidak diriwayatkan. Dalam batas-batas tertentu hadits-hadits
ini diriwayatkan, khususnya yang berkaitan dengan kebutuhan hidup masyarakat
sehari-harinya seperti dalam permasalahan ibadah dalam muamalah. Periwayatan
tersebut dilakukan setelan diteliti secara ketat pembawa haditst tersebut
dan kebenaran isi matannya.
§
Periwayatan
Lafzhi
Periwayatan lafzhi adalah periwayatan hadits yang
redaksinya atau matannya persis seperti yang diwurudkan Rasul SAW. ini hanya
bisa dilakukan apabila mereka hafal benar apa yang disabdakan Rasul SAW.
§
Periwayatan
Maknawi
Periwayatan maknawi adalah periwayatan hadits yang
matannya tidak persis sama dengan yang didengarnya dari Rasul SAW. akan tetapi
isi atau maknanya tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan
oleh Rasul SAW, tanpa ada perubahan sedikitpun. Karakteristik yang menonjol adalah
bahwa para sahabat memiliki komitmen yang kuat terhadap kitab Allah. Mereka
memeliharanya dalam lembaran-lembaran, mushaf dan dalam hati mereka.
B. HADITS
PADA MASA TABI’IN
Pada masa abad ini disebut Masa Pengkodifikasian
Hadits (Al-Jam’u Wa At-Tadwin). Khalifah Umar Bin Abdul Aziz (99-101 H), yang
hidup pada akhir abad 1 H menganggap perlu adanya adanya penghimpunan dan
pembukuan hadits, karena beliau khawatir lenyapnya ajaran nabi setelah wafatnya
para ulama, baik dikalangan para sahabat maupun tabi’in. Oleh karena itu, beliau instruksikan kepada para gubernur diseluruh
wilayah negeri Islam agar para ulama dan ahli ilmu menghimpun dan membukukan
hadits.[3]
Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan
tabi’in tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh para sahabat. Mereka mengikuti
jejak para sahabat sebagai guru-guru mereka. Hanya saja persoalan yang di
hadapai mereka agak berbeda yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini al-Qur’an
sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Di pihak lain, usaha yang telah dirintis
oleh para sahabat, pada masa Khulafa’ Al-Rasyidin, khususnya masa kekhalifahan
Utsman para sahabat ahli hadis menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan islam.
Kepada merekalah para tabi’in mempelajari hadits.
Ketika pemerintah dipegang oleh Bani Umayyah, wilayah kekuasana Islam sampai meliputi Mesir, Persia, Iraq, Afrika Selatan, Samarkand dan Spanyol. Sejalan dengan pesatnya perluasan wilayah kekuasaan Islam penyebaran para sahabat ke daerah-daerah tersebut terus meningkat sehingga masa ini disebut masa menyebarnya periwayatan hadits (intisari ar-Riwayah ila al-amsar)[4]
Ketika pemerintah dipegang oleh Bani Umayyah, wilayah kekuasana Islam sampai meliputi Mesir, Persia, Iraq, Afrika Selatan, Samarkand dan Spanyol. Sejalan dengan pesatnya perluasan wilayah kekuasaan Islam penyebaran para sahabat ke daerah-daerah tersebut terus meningkat sehingga masa ini disebut masa menyebarnya periwayatan hadits (intisari ar-Riwayah ila al-amsar)[4]
Pada masa ini, para tabi’in
dengan jelas menunjukkan kesungguhan, kehati-hatian dan keluasan pengetahuan ulama
sesudah zaman generasi sahabat dalam periwayatan hadits. Bagian hadits yang
dikaji dan didalami bukan hanya matannya saja, melainkan juga nama-nama perawi dan susunan sanadnya.
Ulama hadits pada masa itu
kemudian mnciptakan gelar-gelar keahlian di bidang pengetahuan hadits.
Gelar-gelar yang berstatus honoris causa itu bertingkat sesuai jenjang keahlian
masing-masing ulama. Kalangan ulama muta’akhirin menyatakan gelar yang terendah
adalah al-musnid, kemudian disusul peringkat di atas secara urut :
al-muhaddis, al-hafizh, al-hakim dan yang tertinggi amir al
mu’minin fiy al hadis.
Kemudian gelar tersebut
pertanda betapa hadits Nabi telah menjadi perhatian yang sangat besar di
kalangan ulama dan masyarakat. Periwayatan hadits pada masa ini tidak
memperoleh hadits secara langsung dari nabi, karena mereka tidak sezaman dengan
Nabi. Mereka dapat menerima riwayat dari periwayat yang bersal dari generasi
sebelum mereka, satu generasi dengan mereka dan dari generasi berikutnya yang
sempat sezaman dengan mereka.
Dari uraian tersebut dapat dinyatakan, bahwa periwayatan hadits pada masa
tabi’in telah makin meluas. Rangkaian para periwayat hadits yang beredar di masyarakat menjadi lebih panjang
dibanding pada masa sahabat. Perhatian ulama untuk meneliti matan dan sanad
hadits makin besar, Karena jumlah periwayatnya juga
semakin bertambah banyak. Seiring dengan itu jumlah ulama yang mengkhususkan
diri untuk meneliti hadits juga makin bertambah banyak. Berbagai ilmu dan
kaedah yang berkenaan dengan penelitian hadits makin berkembang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar