Pengikut

Selasa, 12 April 2016

MAKALAH HADITS-MANHAJ SAHABAT DALAM MENJAGA HADITS


B. MANHAJ SAHABAT DAN TABI’IN DALAM MENJAGA HADITS             

Periode kedua sejarah perkembangan hadits adalah masa sahabat, khususnya masa Khulafa’ Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar ibn Khatab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib) yang berlangsung sekitar tahun 11 H sampai dengan 40 H. Masa ini juga disebut masa sahabat besar.
Karena pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Al-qur’an, maka periwayatan hadis belum begitu berkembang, dan kelihatannya berusaha membatasinya, (masa al-Tasabbut wa al-Iqlal min al-Riwayah)
Abu Bakar pernah berkeinginan membukukan sunnah, tetapi digagalkan karena khawatir terjadi fitnah ditangan orang-orang yang tidak dapat dipercaya. Al-hakim menceritakan bahwa Aisyah ra. berkata: “Ayahku menghimpun 500 hadits, semalaman beliau bolak-balik memeriksanya.. ketika pagi beliau minta hadits-hadits yang ada ditanganku untuk dibakan dan berkata: ‘Aku khawatir jika aku mati sementara hadits-hadits itu masih ditanganmu dari orang-orang yang terpercaya, tetapi tidak diriwayatkan sebagaimana mestinya.”
Umar bin Al-Khattab juga ingin pernah ingin mencoba menghimpunnya, tetapi setelah bermusyawarah dan beristikharah selama satu bulan belaiu berkata:
Sesungguhnya aku mempunyai hasrat menulis sunnah, aku telah menyebutkan suatu kaum sebelum kalian yang menulis beberapa buku, kemudian mereka sibuk dengannya  dan meninggalkan Kitab Allah. Demi Allah, sesungguhnya aku tidak akan mencampuradukkan Kitab Allah dengan sesuatu yang lain selamanya.[1]

Diantara manhaj para sahabat dalam mengumpulkan hadits yaitu:
1.   Menjaga Pesan Rasul SAW
Pada masa menjelang kerasulannya , Rasul SAW.berpesan kepada para sahabat agar berpegang teguh kepada al-Qur’an dan Hadits serta mengajarkannya kepada orang lain, sebagaimana sabdanya :

    ترَكْتُ فِيْكُمْ اَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا مَسَكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّتى (روا ه مالك)

Telah aku tinggalkan untuk kalian 2 macam, yang tidak akan sesat setelah berpegang kepada keduanya, yaitu Kitab Allah (al-Qur’an) dan Sunahku (al-Hadits(

Pasan-pesan Rasul SAW sangat mendalam pengaruhnya kepada para sahabat, sehingga segala perhatian yang tercurah semata-mata untuk melaksanakan dan memelihara pesan-pesannya. Kecintaan mereka kepada Rasul SAW. dibuktikan dengan  melaksanakan segala yang dicontohkannya.[2]
2.     Berhati-hati dalam meriwayatkan dan menerima hadits.
Perhatian para sahabat pada masa ini terutama sekali terfokus pada usaha memelihara dan menyebarkan al-Qur’an. Ini terlihat bagaimana al-Qur’an dibukukan pada masa Abu Bakar atas saran Umar bin Khatab. Pada masa ini belum ada usaha secara resmi untuk menghimpun hadits dalam suatu kitab, seperti halnya al-Qur’an. Ini disebabkan agar tidak memalingkan perhatian atau kekhususan mereka (umat islam) dalam mempelajari al-Qur’an, sebab lain pula, bahwa para sahabat yang banyak menerima hadits dari Rasullah SAW. Sudah tersebar keberbagai daerah kekuasaan islam, dengan kesibukannya masing-masing sebagai pembina masyarakat. Sehingga dengan kondisi seperti ini, ada kesulitan mengumpulkan mereka secara lengkap. Pertimbangan lainnya, bahwa dalam membukukan hadits, dikalangan para sahabat sendiri terjadi perselisihan pendapat. Belum lagi terjadinya perselisihan soal lafadz dan kesahihannya.
3.     Meriwayatkan Hadits dengan Lafadz dan Makna
Pembatasan atau penyederhanaan periwayatan hadits, yang ditujukan oleh para sahabat dengan sikap kehati-hatiannya, tidak berarti hadist-hadist Rasul tidak diriwayatkan. Dalam batas-batas tertentu hadits-hadits ini diriwayatkan, khususnya yang berkaitan dengan kebutuhan hidup masyarakat sehari-harinya seperti dalam permasalahan ibadah dalam muamalah. Periwayatan tersebut  dilakukan setelan diteliti secara ketat pembawa haditst tersebut dan kebenaran isi matannya.
§  Periwayatan Lafzhi
Periwayatan lafzhi adalah periwayatan hadits yang redaksinya atau matannya persis seperti yang diwurudkan Rasul SAW. ini hanya bisa dilakukan apabila mereka hafal benar apa yang disabdakan Rasul SAW.
§  Periwayatan Maknawi
Periwayatan maknawi adalah periwayatan hadits yang matannya tidak persis sama dengan yang didengarnya dari Rasul SAW. akan tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul SAW, tanpa ada perubahan sedikitpun. Karakteristik yang menonjol adalah bahwa para sahabat memiliki komitmen yang kuat terhadap kitab Allah. Mereka memeliharanya dalam lembaran-lembaran, mushaf dan dalam hati mereka.

B.      HADITS  PADA MASA TABI’IN
Pada masa abad ini disebut Masa Pengkodifikasian Hadits (Al-Jam’u Wa At-Tadwin). Khalifah Umar Bin Abdul Aziz (99-101 H), yang hidup pada akhir abad 1 H menganggap perlu adanya adanya penghimpunan dan pembukuan hadits, karena beliau khawatir lenyapnya ajaran nabi setelah wafatnya para ulama, baik dikalangan para sahabat maupun tabi’in.  Oleh karena itu, beliau  instruksikan kepada para gubernur diseluruh wilayah negeri Islam agar para ulama dan ahli ilmu menghimpun dan membukukan hadits.[3]
            Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan tabi’in tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh para sahabat. Mereka mengikuti jejak para sahabat sebagai guru-guru mereka. Hanya saja persoalan yang di hadapai mereka agak berbeda yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Di pihak lain, usaha yang telah dirintis oleh para sahabat, pada masa Khulafa’ Al-Rasyidin, khususnya masa kekhalifahan Utsman para sahabat ahli hadis menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan islam. Kepada merekalah para tabi’in mempelajari hadits.
          
Ketika pemerintah dipegang oleh Bani Umayyah, wilayah kekuasana Islam sampai meliputi Mesir, Persia, Iraq, Afrika Selatan, Samarkand dan Spanyol. Sejalan dengan pesatnya perluasan wilayah kekuasaan Islam penyebaran para sahabat ke daerah-daerah tersebut terus meningkat sehingga masa ini disebut masa menyebarnya periwayatan hadits (intisari ar-Riwayah ila al-amsar)[4]
Pada masa ini, para tabi’in dengan jelas menunjukkan kesungguhan,  kehati-hatian dan keluasan pengetahuan ulama sesudah zaman generasi sahabat dalam periwayatan hadits. Bagian hadits yang dikaji dan didalami bukan hanya matannya saja, melainkan juga nama-nama perawi dan susunan sanadnya.
Ulama hadits pada masa itu kemudian mnciptakan gelar-gelar keahlian di bidang pengetahuan hadits. Gelar-gelar yang berstatus honoris causa itu bertingkat sesuai jenjang keahlian masing-masing ulama. Kalangan ulama muta’akhirin menyatakan gelar yang terendah adalah al-musnid, kemudian disusul peringkat di atas secara urut : al-muhaddis, al-hafizh, al-hakim dan yang tertinggi amir al mu’minin fiy al hadis.
Kemudian gelar tersebut pertanda betapa hadits Nabi telah menjadi perhatian yang sangat besar di kalangan ulama dan masyarakat. Periwayatan hadits pada masa ini tidak memperoleh hadits secara langsung dari nabi, karena mereka tidak sezaman dengan Nabi. Mereka dapat menerima riwayat dari periwayat yang bersal dari generasi sebelum mereka, satu generasi dengan mereka dan dari generasi berikutnya yang sempat sezaman dengan mereka.
Dari uraian tersebut dapat dinyatakan, bahwa periwayatan hadits pada masa tabi’in telah makin meluas. Rangkaian para periwayat hadits yang beredar di masyarakat menjadi lebih panjang dibanding pada masa sahabat. Perhatian ulama untuk meneliti matan dan sanad hadits makin besar, Karena jumlah periwayatnya juga semakin bertambah banyak. Seiring dengan itu jumlah ulama yang mengkhususkan diri untuk meneliti hadits juga makin bertambah banyak. Berbagai ilmu dan kaedah yang berkenaan dengan penelitian hadits makin berkembang.





[1] Abdul Barr (w. 463 H), Jami’ Bayan.., juz 1 hal. 64 dan Al-Khathib Al-Baghdadi (W. 463 H), Taqyid Al-Ilmi, Hlm. 207
[2] Shiddicqy, Hasbi Ash. Sejarah Perkembangan Hadits. Jakarta: PT Bulan Bintang
[3] Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag
[4] Drs. Munzier Suparca, M.A, Ilmu Hadits, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, hal. 71.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar