MAKALAH TAFSIR
BERIMAN KEPADA KITAB-KITAB ALLAH
Dosen Pengampu:
Bpk. Safruddin Edi Wibowo Lc, MAg
Oleh:
Vanya Ironies (U20151034)
Fakultas Ushuluddin, Adab dan Humaniora
IAIN JEMBER
A. KEWAJIBAN
BERIMAN KEPADA KITAB-KITAB ALLAH
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa surat
Al-Baqarah dimulai dengan menerangkan bahwa Al-Qur’an tidak ada keraguan
didalamanya dan juga menerangkan sikap manusia terhadap Al-Qur’an, yaitu ada yang beriman, ada yang
kafir, dan ada yang munafik. Selanjutnya disebutkan juga hukum-hukum shalat,
zakat, puasa, haji, pernikahan, jihad, riba,hukum perjanjian dan sebagainya.
Ayat ini adalah ayat penutup surat
Al-Baqarah yang menegaskan sifat Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnyaterhadap
Al-Qur’an. Mereka mempercayainya dan menjadikannya sebagai pegangan hidup untuk
mencapai kebahagiaan dunia akhirat. Dan ayat ini juga menegaskan akan kebesaran
dan kebenaran Nabi Muhammad SAW, dan orang-orang yang beriman, dan menegaskan
bahwa hukum-hukum tersebut adalah hukum-hukum yang benar.[1]
QS. Al-Baqarah: 258
آمَنَ الرَّسُوْلُ...
“Rasul
telah beriman kepada al-Qur an yang diturunkan kepadanya dari Rabb-nya”. Ini adalah pemberitahuan mengenai diri Nabi
saw.
Ayat ini menjelaskan dan menetapkan
bahwa Rasulullah SAW dan orang-orang yang beriman, benar-benar telah telah
mempercayai Al-Qur’an, mereka tidak ragu sedikitpun dan mereka meyakini benar
Al-Qur’an itu. Sikap dan watak Rasulullah adalah dan watak yang ditimbulkan oleh
ajaran-ajaran dalam Al-Qur’an, dan ketaatannya dalam melaksanakan hukum Allah
SWT. Salah satu bukti jawaban Aisyah. ra ketika ditanya tentang akhlak Nabi
Muhammad SAW, Aisyah menjawab:
أَلَسْتَ تَقْرَأَ الْقُرْآنَ؟ قُلْتُ بَلَى، قَالَتْ " فَإِنَّ خُلُقَ
نَبِيَّ اللَّهِ كَانَ الْقُرْآنَ"
“Bukankah
engkau selalu mebaca Al-Qur’an?” Jawabannya:
“Ya”. Aisyah berkata: “Maka sesungguhnya akhlak Nabi itu sesuai dengan
Al-Qur’an”[2]
Seandainya Nabi Muhammad SAW tidak meyakini
ajaran-ajaran yang dibawanya dengan tidak benar serta tidak berpegang dan berpedoman pada
Al-Qur’an, maka tentu saja ia akan ragu
untuk melaksanakan cita-citanya dan ia akan ragu untuk menceritakan kejadian
umat-umat terdahulu yang telah termaktub dalam Al-Qur’an, terutama dalam
menghadapi kaum Nashrani dan Yahudi, mengingat kaum Nashrani dan Yahudi banyak
mengetahui sejarah purbakala pada masa itu. Karenanya, Rasulullah selalu
memikirkan dan meyakini setiap kebenaran yang akan beliau kemukakan dihadapan
mereka.[3]
وَالْمُؤْمِنُوْنَ
“Demikian
pula orang-orang yang beriman”. Diathafkan (dihubungkan) dengan
Rasulullah saw.
Tiap orang beriman itu yakin akan
adanya Allah Yang Maha Esa, tiada syarik bagi-Nya. Mereka mengimani
kitab-kitab Allah yang telah diturunkan kepada Nabi-Nya, mengimani
malaikat-malaikat Allah dan pembawa wahyu Allah.[4]
كُلٌّ آمَنَ بِاللهِ وَمَلَئِكَتِهِ
وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِْلَا نُفَرِّقُ بَيْنَ...
“Semuanya
beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan
rasul-rasul-Nya. Mereka mengatakan, ‘Kami tidak membeda-bedakan antara seorang
pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”
Disamping itu Allah SWT juga menerangkan bahwa
masing-masing rasul itu mempunyai keutamaan dibandingkan rasul-rasul yang lain.
Suatu keutamaan yang dipunyai oleh seorang rasul, dan rasul yang lain juga
memiliki keutamaan.
تِلْكَ الرُّسُلُ فَضَّلْنَا بَعْضَكُمْ عَلَى
بَعْضٍ
“
Rasul-rasul itu telah Kami lebihkan sebagian (dari) sebagian yang lain...”[5]
Ayat ini mengisyaratkan keutamaan
umat Islam atas umat-umat lainyya yang membedakan rasul-rasul Allah. Ada yang
mereka imani dan ada yang tidak mereka imani. Bahkan sebagian
dari rasul itu semasa hidupnya sering diperolok-olokkan.
وَقَالُوا سَمِعْنَا وَ أَطَعْنَا
Allah menerangkan lagi sifat-sifat lain yang
dimiliki orang Islam. Yaitu apabila mereka mendengar suatu perintah atau suatu
larangan dari Allah, mereka akan mendengarkan dengan penuh perhatian,
melaksanakan perintah-perintah tersebut, dan menjahui larangan-larangan-Nya,
karena mereka merasakan betapa besarnya kekuasaan Allah dan mereka yakin hanya
Allahlah yang wajib disembah dan ditaati.[6]
غُفْرَانَكَ وَإِلَيْكَ الْمَصِيْرُ
“Ampunilah
kami, ya Rabb”. Ini merupakan permohonan ampun, rahmat, dan belas kasih.
“kepada-Mu tempat kembali”. Maksudnya, Dia-lah tempat kembali pada hari
perhitungan.
Peryataan ini mengungkapkan hakekat hidup
manusia yang sebenarnya, menggariskan pedoman hidup dan tujuan akhir yang harus
dicapai oleh manusia.[7]
Dari do’a ini dapat dipahami bahwa orang-orang
yang beriman selalu berusaha melaksanakan
perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Sekalipun mereka mengetahui bahwa
Allah SWT tidak akan menghukum manusia karena bersalah, lupa dan lalai,tetapi
orang-orang yang beriman merasa dirinya wajib memohon ampun dan bertaubat
kepada Allah, agar Allah SWT tidak menghukumnya karena perbuatan yang demikian
itu.
Asbabun
Nuzul
Dari Abu Hurairah r.a bahwasanya
setelah diturunkannya ayat 284 yang menjelaskan bahwa Allah akan
memperhitungkan apa yang tampak dan apa yang disembunyikan hati. Para sahabat
berkeyakinan bahwa ketika mereka memiliki niat jahat, Allah akan membalasnya
dengan siksa-Nya kelak. Kemudian, mereka mengadu kepada Rasulullah SAW dan
beliau bersabda “ Apakah kalian hendak mengatakan sama halnya yang dikatakan
oleh Yahudi dan Nasharani ‘kami mendengar tapi kami tidak mengikutinya’??”.
Oleh karenanya, maka katakan ‘kami mendengar dan kami taat’.[8]
Imam al-Bukhari meriwayatkan, dari Ibnu
Mas’ud, ia menceritakan, Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa membaca dua
ayat terakhir surat al-Baqarah pada malam hari, maka kedua ayat ini
mencukupinya”. (HR. Al-Bukhari).[9]
QS. An-Nisa’: 136
“ Wahai
orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, serta
kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang diturunkan
sebelumnya. Barang siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, dan
hari kemudian, maka sesungguhnya itu adalah sesat sejauh-jauhnya”
Dalam perintah yang pertama disebutkan iman
kepada Allah, kitab-kitab-Nya, dan tidak disebutkan iman kepada malaikat. Akan tetapi,
kitab-kitab Allah menyebutkan malaikat dan menyebutkan hari akhir, maka sebagai
konsekuensi beriman kepada kitab-kitab Allah ini ialah beriman kepada malaikat
dan hari akhir. Namun, disini dimunculkan penyebutan malaikat dan hari akhir,
karena ayat ini membicarakan ancaman, yang menyebutkan unsurnya secara
terbatas.
Ayat ini menjelaskan tentang beriman kepada
kitab yang telah diturunkan-Nya sebelumnya. karena, sumber kitab-kitab ini
hanya satu, yaitu Allah dan asanya juga satu, yaitu menyerahka diri kepada
Allah, dan mengesakannya dengan uluhiyyah, dengan segala kekhususan-Nya
serta mengakui bahwa hanya manhaj Allah sajalah yang wajib ditaati dan
dilaksanakan didalam kehidupan. Kesatuan inilah yang secara tabi’i dan secara jelas menetapkan bahwa keberadaan
kitab-kitab suci ini, sebelum diubah oleh manusia, bersumber dari Allah.
Manhaj Allah itu adalah satu, dan jalan-Nya juga satu yang berseberangan
dengan jalan-jalan lain disekitarnya. Jalan-Nya itulah jalan lurus yang dapat
menyampaikan manusia kepada-Nya.
Kita beriman kepada kitab samawi secara
keseluruhan, dengan catatan bahwa kitab-kitab suci semuanya itu pada hakikatnya
adalah kitab yang satu, adalah suatu ciri yang membedakan umat Islam dari
umat-umat lain. Karena, pandangan terhadapTuhan Yang Maha Esa, manhaj-Nya
yang tunggal, dan jalan-Nya yang satu, adalah pandangan yang lurus seiring
dengan kesatuan manusia, dan berjalan lurus seiring dengan kesatuan kebenaran
yang tidak berbilang yang tidak ada sesuatu lagi dibalik kebenaran ini kecuali
kesesatan.[10]
[1] Zaini Dahlan dkk, Al-Qur’an dan Tafsirnya,
Yogyakarta, hlm. 500
[2] H.R.
muslim
[3] Tafsir
At-Tabari Jilid V, 2001: 148-153
[4] Zaini
Dahlan dkk, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Yogyakarta, hlm. 502
[5] Surat Al-Baqarah: 253
[6] Zaini
Dahlan dkk, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Yogyakarta, hlm. 503
[7] Ibid.
[8] Lubabun
Nuqul: 39
[9]
Al-Misbah Al-Munir fi Tahzib Tafsri Ibnu Katsir, 1999: 160-161
[10] Tafsir
fi Zhilalil Qur’an, Jilid 3, 1992: 101
Tidak ada komentar:
Posting Komentar